PENGERTIAN MANAJEMEN PAJAK dan PERENCANAAN PAJAK

Hallo Guys jika anda menncari tempat sewa jas khususnya daerah Bali ,, segera hubungi atau datang langsung ke Home Store kami ya.. Thanks..



1.      Manajemen Pajak (Tax Manajemen)
Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai suatu usaha menyeluruh yang dilakukan menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang berkaitan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi kelangsungan usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan penerimaan Negara.
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari manajemen pajak adalah optimalisasi dan/atau meminimalkan beban pajak yang dapat dicapai tidak hanya dengan melakukan suatu perencanaan yang matang, melainkan juga harus melewati tahap pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling) yang baik dan terkendali.
Jadi pada dasarnya, manajemen pajak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.    Fungsi Perencanaan pajak (Fungsi Planning)
2.    Fungsi Pengorganisasian pajak (Fungsi Organizing)
3.    Fungsi Pelaksanaan pajak (Fungsi Actuating)
4.    Fungsi Pengawasan pajak (Fungsi Controlling)

v    Motivasi Manajemen Pajak
Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban pajak untuk maksimalisasi Net Profit After Tax. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan melalui cara-cara yang melanggar aturan perpajakan, salah satunya karena banyak ketentuan perpajakan yang multitafsir.
Gunadi, mengutip Simon James dan Christoper Nobes menyebutkan bahwa motivasi dilakukannya tax management, diantaranya adalah: (i) tingginya tariff pajak; (ii) kekuranggamblangan ketentuan, baik rumusan eksplisit ketentuan maupun semangat, maksud dan tujuan implisitnya; (iii) terlalu kecilnya sanksi; (iv) kekurangwajaran atau kekurangmerataan; dan (v) distorsi dalam system perpajakan.
Motivasi lain dilakukannya manajemen pajak, menurut Simon James dan Christoper Nobes, adalah kekurangwajaran dan ketidakmerataan. Faktor ini biasanya dikaitkan dengan prinsip manfaat/benefit dari pembayaran pajak dalam kaitannya dengan azas keadilan dan kemerataan. Konsepsi dari prinsip manfaat/benefit yang diterima dati pelayanan public oleh pemerintah. Sehingga mereka yang mendapatkan manfaat/benefit lebih besar seharusnya membayar pajak lebih besar. Konsekuensinya, apabila mereka merasa bahwa kualitas pelayanan dan public goods yang disediakan pemerintah kurang memadai atau tidak setimpal dengan pajak yang mereka bayarkan, wajib pajak kemudian cenderung untuk melakukan tindak manajemen pajak.
v    Syarat Manajemen Yang Baik
                                    Tax Management yang baik harus memenuhi 3 persyaratan utama yaitu: (i) tidak melanggar/bertentangan dengan ketentuan/peraturan yang berlaku; (ii) secara bisnis masuk akal (reasonable), karena tax management merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari corporate global strategy; dan (iii) didukung oleh bukti-bukti yang memadai, baik segi pencatatan akuntansi-keuangannya, maupun segi hokum perjanjian/perikatannya.

2.      Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Perencanaan Pajak merupakan langkah awal yang menjadi bagian kritikal dari keseluruhan manajemen pajak yang lebih besar. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Perencanaan yang baik juga mensyaratkan adanya pengendalian terhadap pemenuhsemua kewajiban perpajakan (tax compliance/ tax administration)  agar risiko perpajakan karena adanya kesalahan pengurusan (mis-organizing) dapat dihindari, sehingga penghematan pajak (tax saving) dapat tercapai.
Dictionary of Tax Terms, Barron’s Guides menyebutkan bahwa “tax planning is a systematic analysis of differing tax option aimed at the minimization of tax liability in curent and future tax periods”. Bahwa perencanaan pajak adalah suatu analisis sistematik atas pilihan-pilihan pajak yang berbeda yang bertujuan untuk meminimalkan kewajiban/ hutang pajak baik saat ini maupun yang akan datang.
Makin pentingnya variabel pajak sebagai komponen yang harus diperhitungkan, membuat banyak perusahaan melakukan perencanaan pajak (Tax Planning). Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena penyelundupan pajak yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan.Jadi, perencanaan pajak tidak berarti penyelundupan pajak. Pada dasarnya usaha penghematan pajak berdasarkan the least and latest rule, yaitu Wajib Pajak selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin dan menunda pembayaran selambat mungkin sebatas masih diperkenankan peraturan perpajakan.
Jenis-jenis perencanaan pajak menurut Sundy (2011), dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a.       Perencanaan Pajak Nasional (National Tax Planning)
Perencanaan dilakukan berdasarkan undang-undang domestik. Dalam perencanaan pajak nasional pemilihan pelaksanaan atau tidak suatu transaksi hanya bergantung terhadap transaksi tersebut. Untuk menghindari/ mengurangi pajak, wajib pajak dapat memilih jenis transaksiyang akan dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada.
b.      Perencanaan Pajak Internasional (international Tax Planning)
Perencanaan pajak yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik dan juga harus memperhatikan perjanjian pajak (Tax Treaty) dan undang-undang dari Negara-Negara terlibat.
Perencanaan Pajak sebagai bagian dari kegiatan manajemen memiliki beberapa manfaat yang berguna bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha dalam pencapaian laba maksimum. Terdapat 4 hal yang dapat diambil sebagai keuntungan dari melaksanakan perencanaan pajak, yaitu sebagai berikut:
a.       Penghematan kas keluar, dimana pajak dianggap sebagai unsur biaya yang dapat diefisienkan.
b.      Mengatur aliran kas, dimana dengan perencanaan pajak yang dikelola secara cermat perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih kuat.
c.       Menentukan waktu pembayaran untuk menghindari keterlambatan yang akan mengakibatkan denda atau sanksi.
d.      Membuat data-data terbaru untuk mengupdate peraturan perpajakan.

Motivasi yang mendasari dilakukannya perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu:
1.      Kebijakan perpajakan (Tax policy)
Kebijakan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam system perpajakan.
2.      Undang-undang perpajakan (Tax Law)
Kita menyadari bahwa kenyataannya di manapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden, Keputusa digunakan  Menteri Keuangan dan Direktur Jendral Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan mencapai tujuan yang lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk perencanaan pajak yang baik.
3.      Administrasi perpajakan (Tax Administration)
Indonesia merupakan  negara yang begitu luas wilayahnya dan begitu banyak penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun (developing country) masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan secara memadai (property). Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan perpajakan (tax planning)dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fikus dengan Wajib pajak akibat dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan system informasi yang belum efektif.
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return) karena pajak itu ikut mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara menganalisis secara cermat. Adapun tahapan-tahapan dalam membuat perencanaan pajak menurut Erly Suandi dalam bukunya Perencanaan Pajak (2006:14) adalah sebagai berikut:
1.      Menganalisis informasi (basis data) yang ada.
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secacar total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien.
2.      Membuat satu  model atau lebih model kemungkinan jumlah besarnya pajak.
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakan-tindakan berikut:
a.       Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau hubungan internasional.
b.      Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari negara tersebut.
c.       Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
3.      Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak.
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan.
4.      Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki rencana pajak.
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian  keputusan yang terbaik atas suatu perencaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dengan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan bentuk perencanaan pajak yang inginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan perundang-undangan atau peraturan. Tindakan perubahan harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan sangat kecil.
5.      Memutakhirkan rencana pajak.
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan.
Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Ukuran yang digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak, yaitu dengan:
v  Penghematan Pajak (Tax saving), merupakan usaha untuk mengefisienkan beban pajak melalui alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
v  Penghindaran Pajak (Tax avoidance) merupakan usaha efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak.
v  Penyelundupan Pajak (Tax evasion)merupakan upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak terhutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

3.      PengertianTax Avoidance (Penghindaran Pajak) Dan Tax Evasion (Penyelundupan Pajak)
Manajemen pajak (tax management) yang dapat ditempuh dengan cara penghindaran pajak (tax avoidance)dan penyelundupan pajak (tax evasion) pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengurangi atau meminimalisir beban pajak secara umum. Pada umumnya mekanisme penghindaran pajak (tax avoidance) dianggap sebagai upaya manajemen pajak yang legal karena pelaksanaannya tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku yaitu dengan cara memanfaatkan kelemahan-kelemahan (greyarea) yang terdapat dalam ketentuan perpajakan, sedangkan penyelundupan pajak (tax evasion) cenderung mengarah pada tindak pidana perpajakan yang ilegal karena pelaksanaannya melanggar ketentuan perpajakan. 
Literatur perpajakan di Indonesia dan juga para ahli perpajakan (seperti Gunadi, Prebble, dan Prasetyo), menyatakan bahwa penghindaran pajak (tax avoidance) melibatkan pemanfaatan secara efektif kebijakan pajak yang legitimate dan pemanfaatan ambiguitas peraturan perundang-undangan, transaksi yang dilaksanakan tidak mempunyai makna ekonomis yang berarti, tidak terdapat unsur risiko, dan hanya merupakan usaha untuk mengeksploitasi celah-celah dalam peraturan perpajakan. Penyelundupan pajak (tax evasion) dinyatakan sebagai upaya meminimalkan beban pajak dengan cara memanipulasi pembukuan, penghilangan atau kurang melaporkan objek pajak yang juga terkadang didukung dengan rekayasa ilegal akuntansi dan administrasi lainnya, atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan. Contoh dari penyelundupan pajak (tax evasion) dapat berupa memperkecil jumlah pendapatan di dalam laporan keuangan atau bahkan melaporkan kerugian (manipulate the losses)sehingga penghasilan kena pajak menjadi berkurang dan otomatis jumlah pajak terutang menjadi lebih kecil atau bahkan dapat menyebabkan tidak membayar pajak sama sekali. 
Penghindaran pajak (tax avoidance) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut.
a.         Menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
b.         Pindah lokasi yaitu memindahan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah.
c.         Penghindaran pajak secara yuridis yaitu dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan agar tidak terkena pajak dan biasanya perbuatan tersebut memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan dari undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk menentukan legal (tax avoidance)atau tidak legalnya (tax evasion) dari suatu aktivitas tax management adalah ketentuan pidana pasal 38, 39, 41, 41A, 41B, dan 43 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berikut adalah penjelasan masing-masing dari ketentuan tersebut.
a.         Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya: (1) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau (2) menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
b.         Pasal 39
1)        Setiap orang yang dengan sengaja:
a)      tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b)      menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c)      tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d)     menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e)      menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f)       memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g)      tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h)      tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i)        tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2)        Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
3)        Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
c.         Pasal 41
1)        Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
2)        Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3)        Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
d.        Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
e.         Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
f.          Pasal 43
1)        Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2)        Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

4.      Kebijakan AntiTax Avoidance
            Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum yang membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai.
Dalam upaya menghadapi praktik-praktik penghindaran pajak khususnya yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, pada umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam undang-undang domestiknya, seperti: controlled foreign company, arm’s length rule, advance pricing agreement, dan debt to equity ratio.
            Arnold (2008), secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik penghindaran pajak. Yang pertama adalah pendekatan tanpa menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance doctrine yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan. Yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
            Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal dua pendekatan yang berlawanan. Pertama adalah pendekatan literal, yang peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah peraturan. Kedua adalah pendekatan purposive, yang dalam menafsirkan peraturan juga mempertimbangkan latar belakang dari dibuatnya peraturan tersebut. Di Indonesia, pendekatan pertama sulit diterapkan karena penafsiran perundangan di Indonesia masih cenderung secara literal, sehingga untuk melawan terjadinya penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam Undang-Undang Perpajakan.
Dalam praktik di beberapa negara, SAAR efektif dalam upaya menangkal praktik-praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Selain ketentuan yang bersifat khusus tersebut, di banyak negara juga diterbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum (General Anti Avoidance Rule/GAAR). Tujuan dibuatnya ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum ini adalah untuk mengantisipasi praktik penghindaran pajak yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus atau untuk melawan tindakan tax avoidance yang pada saat dibuatnya peraturan belum dikenal. Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa terdapat kecenderungan praktik penghindaran pajak dari tahun ke tahun semakin canggih dan sulit untuk dideteksi serta ditangkal hanya dengan mengandalkan SAAR. Dalam hal ini tax planning yang dilakukan oleh wajib pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning, melainkan sudah semakin offensive yang sering dikenal dengan istilah aggresive tax planning. Lebih jauh Cooper mengatakan bahwa GAAR harus memuat pembedaan antara transaksi yang tergolong acceptable tax avoidance dan yang tergolong unacceptable tax avoidance karena tidak semua penghindaran pajak bersifat offensive.
            Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak dalam Undang-Undang perpajakan sudah dikenal peraturan SAAR dalam Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan, akan tetapi semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi penghindaran pajak. Oleh karena itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan memperkenalkan suatu Statutory General Anti Avoidance Rule di Undang-Undang perpajakan di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan tersebut dalam peraturan mereka.
            Dalam pasal 18 ayat Undang-Undang Pajak Penghasilan yang isinya:
(1)          Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)          Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3)          Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
a)      Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
b)      Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
c)      Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
d)     Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
e)      Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4)     Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah Statutory General Anti Avoidance Rule perlu dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib pajak. Ketentuan Statutory General Anti Avoidance Rule memberikan diskresi yang sangat luas bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi penghindaran pajak.
5.      Contoh ImplementasiManajemen PajakPada Tunjangan Pajak Penghasilan Karyawan (Pph 21)
PPh pasal 21 karyawan adalah pajak yang dibebankan kepada karyawan atas penghasilan yang diterimanya dari perusahaan. PPh pasal 21 itu dipungut oleh pemberi kerja lalu disetor kepada pemerintah. Ada 3 metode yang bisa digunakan dalam perhitungan PPh 21, yaitu:
a.    Net Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya.
b.    Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.
c.    Gross-Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari penghasilan karyawan.

Contoh Kasus:
Tuan Ucok adalah wajib pajak dengan status kawin dengan satu anak, bekerja sebagai karyawan PT Bukit Asam (Persero) Tbk. Gaji yang diperoleh setiap bulan Rp 10.000.000,00.
Berikut adalah perbandingan penggunaan 3 metode di atas:

Tabel Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan
Item
PPh Pasal 21 Ditanggung Perusahaan (Net Method)
PPh Pasal 21 Ditanggung Karyawan (Gross Method)
PPh Pasal 21 Ditunjang Perusahaan (Gross Up)
Gaji
 Rp    10,000,000.00
 Rp    10,000,000.00
 Rp    10,000,000.00
Tunjangan Jabatan
 Rp      1,000,000.00
 Rp      1,000,000.00
 Rp      1,000,000.00
Tunjangan Transportasi
 Rp         500,000.00
 Rp         500,000.00
 Rp         500,000.00
Tunjangan Makan
 Rp         300,000.00
 Rp         300,000.00
 Rp         300,000.00
Tunjangan Pajak
Rp                     0.00
Rp                     0.00
Rp     300,211.00
Premi Asuransi Kec. Kerja
 Rp           24,000.00
 Rp           24,000.00
 Rp           24,000.00
Premi Asuransi Kematian
 Rp           30,000.00
 Rp           30,000.00
 Rp           30,000.00
Penghasilan Bruto Sebulan
 Rp    11,854,000.00
 Rp    11,854,000.00
 Rp    12,154,211.00
Item
PPh Pasal 21 Ditanggung Perusahaan (Net Method)
PPh Pasal 21 Ditanggung Karyawan (Gross Method)
PPh Pasal 21 Ditunjang Perusahaan (Gross Up)
Pengurangan:



Biaya Jabatan (5%)
 Rp         592,700.00
 Rp         592,700.00
 Rp         600,000.00
Iuran Pensiun
 Rp         100,000.00
 Rp         100,000.00
 Rp         100,000.00
Iuran JHT
 Rp         200,000.00
 Rp         200,000.00
 Rp         200,000.00
Penghasilan Neto Sebulan
 Rp    10,961,300.00
 Rp    10,961,300.00
 Rp    11,254,211.00
Penghasilan Neto Setahun
 Rp  131,535,600.00
 Rp  131,535,600.00
 Rp 135,050,532.00
PTKP 2017
 Rp   63,000,000.00
 Rp   63,000,000.00
 Rp   63,000,000.00
PKP 2017
 Rp    68,535,600.00
 Rp    68,535,600.00
 Rp    72,050,532.00




Hutang PPh (Pasal 21):



5% x Rp 50,000,000 =
 Rp      2,500,000.00
 Rp     2,500,000.00
 Rp      2,500,000.00
15% x (PKP - Rp 50,000,000) =
 Rp       926,780.00
 Rp        926,780.00
 Rp      1,102,526.60
Jumlah PPh Ps. 21 Setahun
 Rp      3,426,780.00
 Rp    3,426,780.00
 Rp    3,602,526.60
Jumlah PPh Ps. 21 Sebulan
 Rp         285,565.00
 Rp        285,565.00
 Rp      300,211.00




Tunjangan Pajak
 Rp                    0.00
Rp                   0.00
 Rp 300,211.00
PPh 21 ditanggung perusahaan
 Rp         285,565.00
 Rp                  0.00
 Rp                   0.00
PPh yang disetor/dipotong dari penghasilan karyawan
 Rp                    0.00
 Rp       285,565.00
 Rp                   0.00







Tabel Perbandingan Jumlah Gaji yang Dibawa Pulang Karyawan



Ditanggung
Ditanggung
Ditunjang



Perusahaan
(Net Method)
Karyawan
(Gross Method)
Perusahaan
(Gross-up Method)


Take Home Pay:





Penghasilan Bruto
 Rp 11,800,000.00
 Rp 11,800,000.00
 Rp  12,100,211.00


Dikurangi:





Iuran Pensiun
 Rp  100,000.00
 Rp    100,000.00
 Rp   100,000.00


Iuran JHT
 Rp     200,000.00
 Rp      200,000.00
 Rp    200,000.00


PPh Pasal 21
Rp                 0.00
Rp       285,565.00
Rp    300,210.55


Jumlah THP
Rp 11,500,000.00
Rp11,214,435.00
Rp   11,500,000.00








Apabila perusahaan memberikan tunjangan pajak dalam bentuk uang dan dimasukkan dalam daftar gaji, maka biaya gaji yang diperhitungkan oleh perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan. Selain bermanfaat sebagai biaya pengurang dari penghasilan perusahaan dalam hal ini tax saving dapat mencapai shift to lower bracket (dari PPh 21 karyawan = 15% ke PPh 21 perusahaan = 25%), dan pemberian tunjangan pajak tersebut tidak akan mengurangi penghasilan bersih karyawan.

Tabel Perbandingan Metode PPh 21 Karyawan

Net Method (PPh ditanggung Perusahaan)
Gross Method (PPh 21 Ditanggung Karyawan)
Gross up Method
(PPh 21 Ditunjang Perusahaan)
Take Home Pay
Rp 11,500,000.00
Rp  11,214,435.00
Rp11,500,000.00
Pajak Penghasilan PPh 21
Rp 3,426,780.00
Rp  3,426,780.00
Rp  3,602,526.60
Laba Komersial
Rp 96,573,220.00
Rp 100.000.000.00
Rp 96,397,473.40
Laba Fiskal
Rp 100.000.000.00
Rp 100.000.000.00
Rp 96,397,473.40
Pajak Penghasilan Badan (25%)
Rp   25.000.000.00
Rp   25.000.000.00
Rp 24,099,368.35
Laba Komersial Setelah Pajak
Rp  71,573,220.00
Rp   75.000.000.00
Rp 72,298,105.05

Analisa Kasus:
1.      Net Method / PPh 21 ditanggung perusahaan. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf h Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bahwa biaya Pajak Penghasilan bukan merupakan biaya yang dapat dijadikan pengurang Penghasilan Kena Pajak. Sehingga perusahaan tetap harus membayar PPh Badan dari Laba fiskal ditambah dengan koreksi positif atas biaya PPh 21 karyawan.
2.      Gross Method / PPh 21 ditanggung karyawan. Perusahaan hanya mencatat biaya gaji dan tunjangan lainnya. Tidak ada perubahan terhadap laba fiskal yang dikarenakan PPh 21 yang dibayarkan oleh karyawan karena posisinya tidak mempengaruhi komponen Laporan Laba/Rugi.
3.      Gross up Method / tunjangan PPh 21 dimasukkan dalam komponen gaji, dan dapat menjadi komponen biaya dalam laporan fiskal. Dalam hal ini tunjangan pajak ini dapat mengurangi laba fiskal dan oleh karenanya mengurangi PPh Badan yang harus dibayarkan.Hal tersebut akan menguntungkan bagi karyawan karena THP nya tidak berkurang dan bagi perusahaan juga dapat membebankan biaya tunjangan pajak tersebut sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak perusahaan, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 36 tentang Pajak Penghasilan.

Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pilihan diatas, maka kebijakan yang paling baik dipilih oleh perusahaan adalah PPh pasal 21 ditunjang perusahaan (Gross Up Method). Dari perhitungan diatas terlihat bahwa take home paygross upsama dengan pemberian tunjangan pajak.Namun, dengan menggunakan metode Gross Up maka perusahaan dapat membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible expensesehingga dapat menggurangi PPh badan perusahaan. Dan selain itu juga keuntungan yang diperoleh perusahaan apabila di gross up adalah padasaat terjadi kenaikan gaji, perusahaan tidak harus menanggung tunjangan pajakyang ikut meningkat, sehingga rencana penganggaran perusahaan tidak terganggu.
Selain itu, untuk keperluan manajemen perpajakan, diperlukan control dokumentasi yang mendukung perlakuan PPh 21 karyawan ini, antara lain:
1.      Kontrak kerja karyawan yang menyebutkan jumlah Gross up gaji dan komponen-komponen yang termasuk di dalamnya.
2.      Slip gaji yang mencantumkan semua komponen gaji dan tunjangan sebagaimana perhitungan di atas agar karyawan mengetahui Gaji Bruto, tunjangan-tunjangan dan pembayaran lain yang merupakan fasilitas perusahaan.
3.      Mencatat tunjangan pajak pada Hutang PPh 21 yang harus dibayarkan paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya, dan dilaporkan baik melalui e-fin maupun manual ke Kantor Pelayanan Pajak, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. “Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan”.

NB : SEMOGA BERMANFAAT DAN INGAT !! SEWA JAS HANYA DI RUMAH JAS BALI

Komentar

Postingan Populer