TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PPh PASAL 21



1.      Kompensasi Karyawan: Tunai Versus Natura
Untuk perusahaan yang dikenakan PPh badan dengan tarif umum (pasal 17 UU PPh), bukan yang dikenakan PPh Final atau dikenakan PPh berdasarkan deemed profit, pada dasarnya berlaku prinsip umum antara PPh Pasal 21 dengan PPh badan. Pertama, apabila penghasilan pegawai dalam bentuk tunai (bersifat benefit in cash), maka penghasilan itu menjadi Objek PPh Pasal 21 (taxable income/TI). Dalam PPh badan, dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expenses/DE). Contohnya, pembayaran gaji, THR, tunjangan-tunjangan, dan sebagainya.
Kedua, apabila penghasilan pegawai dalam bentuk natura, fasilitas atau kenikmatan (bersifat benefit in kinds), maka penghasilan tersebut bukan merupakan Objek PPh Pasal 21 (non taxable income/NTI). Di PPh badan, tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non deductible expenses/NDE). Contohnya, pemberian fasilitas berobat gratis, pemberian kendaraan, dan sebagainya.
Natura merupakan imbalan atau kenikmatan atau benefit yang diberikan kepada pegawai atau pekerja yang bukan dalam bentuk uang. Imbalan atau kenikmatan yang dimaksud merupakan penghasilan bagi karyawan namun tidak dimasukkan sebagai bagian dari gaji atau upah yang diterima karyawan. Natura biasanya diberikan pada waktu-waktu tertentu dimana suatu pencapaian telah dihasilkan atau diraih, atau diharapkan dari pemberian natura tersebut dapat mempermudah pekerjaan penerima natura.
            Secara umum pemberian natura dan kenikmatan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan dan tidak bisa dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible–nontaxable). Hal tersebut terkecuali yang diatur khusus seperti makanan dan minuman yang diberikan kepada seluruh karyawan di tempat kerja dan kendaraan dinas yang digunakan untuk pegawai tertentu karena pekerjaan atau jabatannya (deductible–nontaxable) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2009.




Sebagai contoh yaitu bentuk pemberian makan ada beberapa macam, tergantung dari kebijakan perusahaan, yaitu:
1.      Diberikan dalam bentuk uang (benefit in cash), atau biasa disebut dengan istilah uang makan.
Keunggulan pegawai diberikan uang makan adalah pegawai bisa memilih sendiri ingin menyantap makan apa dengan harga yang sesuai dengan daya beli masing-masing. Namun, pemberian tunjangan uang makan ini harus diperhatikan aspek pajaknya. Dari sisi pajak, benefit in cash bagi pegawai merupakan objek penghasilan dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 bagi perusahaan dan merupakan deductible expense.
2.      Diberikan dalam bentuk non-tunai (benefit in kinds).
Pemberian biaya makan pegawai dalam bentuk non-tunai dapat dikategorikan sebagai natura dan kenikmatan, yang menurut UU PPh tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dikecualikan penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai. Dari sisi perusahaan, penyediaan makanan dan minuman bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan membeli dari perusahaan katering atau membeli bahan makanan dan memasaknya sendiri di tempat kerja.
Ada kalanya tidak semua pegawai dapat menikmati makanan dan minuman yang disediakan di tempat kerja karena alasan dinas luar. Dalam hal ini, perusahaan diperkenankan untuk memberikan kupon atau voucher makan kepada pegawai yang bersangkutan dengan nilai kupon yang wajar. Nilai kupon akan dianggap wajar apabila tidak melebihi pengeluaran penyediaan makanan dan atau minuman tiap pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.
Treatment Umum PPh Badan untuk Kompensasi Karyawan (Biaya Pegawai)
Dalam menentukan apakah Biaya Pegawai boleh dibebankan sebagai biaya (DE) atau tidak boleh dibebankan sebagai biaya (NDE), ketentuan umum yang harus kita perhatikan adalah Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh (UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).

Pasal 6 UU PPh adalah pasal yang menyebutkan biaya-biaya yang DE sedangkan Pasal 9 UU PPh adalah pasal yang menyebutkan beberapa jenis biaya yang NDE. Dari kedua pasal itu, kita bisa memetik kesimpulan umum bahwa treatment PPh terkait dengan Biaya Pegawai tersebut adalah:
>> untuk Biaya Pegawai yang uangnya diberikan secara langsung kepada pegawai, pada umumnya boleh dibebankan sebagai biaya di SPT Tahunan PPh perusahaan (DE). Ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh yang menyatakan sebagai berikut:
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk: upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.”
>> untuk Biaya Pegawai yang diberikan secara langsung kepada pegawai tetapi diberikan dalam bentuk barang atau fasilitas, pada umumnya tidak boleh dibebankan sebagai biata di SPT Tahunan PPh perusahaan (NDE).  Penegasan ini dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh yang menyatakan bahwa:
“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan…”
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‘dalam bentuk natura’ adalah dalam bentuk barang seperti tunjangan dalam bentuk beras dan sembako, dlsb.  Sedangkan yang dimaksud dengan ‘kenikmatan’ adalah dalam bentuk fasilitas seperti fasilitas mess karyawan, fasilitas pengobatan, fasilitas penggunaan ponsel/HP, dlsb.
>> untuk Biaya Pegawai yang uangnya diberikan kepada pihak ketiga (tidak kepada pegawai), pada umumnya tidak tidak boleh dibebankan sebagai biata di SPT Tahunan PPh perusahaan (NDE). Ini sama dengan poin b di atas.  Dalam hal ini belanja Biaya Pegawai yang uangnya diberikan kepada pihak ketiga untuk menyediakan keperluan dan kebutuhan karyawan, termasuk dalam kategori ‘kenikmatan’ atau fasilitas bagi karyawan.
Beberapa Pengecualian
Selain Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, ada beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai masalah DE dan NDE-nya Biaya Pegawai, di antaranya adalah:
  1. Penyediaan Makan dan Minum –> Seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, pemberian natura kepada pegawai dalam bentuk penyediaan makanan dan minuman bagi pegawai merupakan biaya yang boleh dibebankan dalam SPT Tahunan PPh perusahaan.  Hal ini juga ditegaskan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009.  Ketentuan ini berlaku secara umum tanpa melihat apakah perusahaan tersebut berada di daerah terpencil atau bukan di daerah terpencil.  Artinya, jika perusahaan memilih kebijakan untuk menyediakan makan siang untuk karyawan (maupun makan malam bagi pegawai yang lembur) dari pada memberikan uang tunjangan makan, maka Biaya Pegawai untuk penyediaan makanan dan minuman itu boleh dibiayakan (DE).
  2. Penyediaan Kendaraan dan HP Dinas –> Seperti ditegaskan dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 mengenai perlakuan PPh atas biaya pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan, biaya sehubungan dengan kendaraan yang dimiliki atau disewa oleh perusahaan dan dipergunakan oleh karyawan tertentu secara penguasaan penuh (dibawa pulang), dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan hanya sebesar 50% (dari biaya penyusutan atau biaya sewa kendaraan).  Ketentuan ini berlaku umum untuk seluruh Wajib Pajak.  Selain itu, penetapan DE hanya 50% ini tidak hanya berlaku terhadap biaya penyusutan atau biaya sewa kendaraan tetapi untuk seluruh biaya terkait kendaraan dan HP dinas seperti biaya perbaikan, pemeliharaan, ganti oli, uang tol, voucher isi ulang, dlsb.
  3. Natura dan Kenikmatan di Daerah Terpencil –> Bagi perusahaan yang sudah mendapat penetapan (SK) dari Menteri Keuangan sebagai Daerah Terpencil, Biaya Pegawai yang diberikan dalam bentuk natura maupun kenikmatan tertentu dapat dibiayakan (DE) seperti mess karyawan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, dlsb baik yang disediakan untuk karyawan maupun keluarganya.  Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009.
  4. Premi Asuransi–> Bagi perusahaan yang mengikutsertakan pegawainya pada programasuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, beasiswa dan asuransi dwiguna, dan kemudian perusahaan juga menanggung sebagian premi asuransi tersebut, maka premi asuransi yang ditanggung perusahaan (bukan yang dipotong dari gaji, lho) boleh dibiayakan (DE). Meskipun uang preminya tidak diberikan ke pegawai melainkan langsung diberikan kepada perusahaan asuransi, namun menurut Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh premi asuransi yang ditanggung perusahaan (pemberi kerja) itu DE.  Ketentuan ini juga berlaku terhadap program JK, JPK dan JKK yang ada di Jamsostek.  Sebab menurut SE-02/PJ.31/1996perlakuan terhadap ketiga program Jamsostek tersebut dipesamakan dengan kelima program asuransi yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh.
  5. Iuran Pensiun–> Sama seperti premi asuransi, Iuran Pensiun untuk pegawai yang ditanggung oleh perusahaan dan dibayarkan kepada dana pensiun juga boleh dibiayakan (DE) dengan syarat dana pensiun tersebut sudah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan.  Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh.  Begitupun dengan program JHT yang dibayarkan kepada Jamsostek (SE-02/PJ.31/1996).  Tetapi harap diingat, yang boleh dibiayakan perusahaan hanya sebesar yang ditanggung oleh perusahaan dan bukan yang dipotong dari gaji karyawan.
  6. Perusahaan Dikenakan PPh Final –> Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010, diatur beberapa ketentuan khusus mengenai DE dan NDE.  Misalnya, bagi perusahaan yang menurut ketentuan PPh dikenakan PPh Badan bersifat final, maka apapun cara maupun bentuk Biaya Pegawai tersebut seluruhnya tidak boleh dibiayakan (NDE).  Ketentuan ini juga berlaku terhadap WP Badan yang penghasilannya ditetapkan sebagainon taxable income (bukan objek PPh) seperti yayasan atau organisasi nirlaba yang penghasilannya hanya berupa sumbangan atau donasi.  Sedangkan perusahaan yang menurut ketentuan PPh dikenakan PPh badan bersifat final antara lain: Perusahaan yang bergerak di bidang usaha persewaan tanah maupun bangunan; Perusahaan yang bergerak di bidang usaha jual-beli tanah maupun bangunan (developer atau pengembang property); Perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi; Perusahaan yang bergerak di bidang usaha pelayaran dalam negeri; BUT dari perusahaan pelayaran luar negeri; Pemberi kerja WP orang pribadi yang penghitungan PPh-nya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2.      Gross Method, Net Method, dan Gross Up Method
Pada perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terdapat beberapa metode yang bisa digunakan, Gross Method, Net Method, dan Gross Up Method.
a.       Gross method merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.
b.       Net Method merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menaggung pajak karyawannya.
c.       Gross Up Method merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan.
Pada penerapan Gross Method dan Net Method hanya akan menguntungkan salah satu pihak sedangkan pihak lainnya rugi. Namun Gross Up Method dapat memberikan keadilan pada kedua belah pihak karena bagi perusahaan tunjangan pajak dapat diakui sebagai biaya, sedangkan bagi pegawai dianggap sebagai penghasilan. Perhitungan tunjangan pajak pada Gross Up Method diformulasikan untuk menyamakan jumlah pajak yang akan dipotong dengan tunjangan pajak yang akan diberikan perusahaan terhadap pegawainya.
3.      Konsep Taxable dan Deductible Terkait Dengan Unsur-Unsur Biaya Karyawan
Bagi Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha, salah satu biaya yang pasti ada adalah biaya tenaga kerja atau biaya karyawan. Nah, kalau kita lihat dalam konteks Pajak Penghasilan, ada dua pihak yang terlibat terkait dengan kewajiban Pajak Penghasilan. Yang pertama adalah Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi sebagai pemberi kerja. Biaya tenaga kerja terkait langsung dengan Pajak Penghasilan terutang karena biaya tenaga kerja adalah salah satu unsur biaya yang menentukan jumlah pajak terutang.
Yang kedua, adalah karyawan sebagai penerima penghasilan. Biaya karyawan yang dibayarkan oleh pemberi kerja merupakan penghasilan yang bisa menjadi objek atau bukan objek pemotongan PPh Pasal 21. Nah, jika kita membagi biaya tenaga kerja dilihat dari kedua pihak ini, maka biaya tenaga kerja dapat digolongkan menjadi empat bagian.
Bagi Perusahaan Deductible Expense, Bagi Karyawan Taxable Income
Dalam kelompok ini, biaya tenaga kerja merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan terutang (deductible) dan bagi karyawan biaya tenaga kerja ini merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 (taxable income). Pada umumnya, biaya-biaya di sini adalah imbalan kepada karyawan dalam bentuk uang, yaitu:
  • Gaji pokok, uang lembur, THR
  • Tunjangan: makan, transportasi, PPh 21, pengobatan, perumahan
  • Premi asuransi pegawai dibayar perusahaan
  • Penggantian pengobatan, pemberian uang sewa rumah, uang cuti
  • Pemberian uang, selain pembagian laba

Bagi Perusahaan Non Deductible Expense, Bagi Karyawan Non Taxable Income
Dalam kelompok ini, juga masih berlaku prinsip deductible taxable. Biaya-biaya yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
  • Pemberian dalam bentuk natura
  • Pemberian pakaiaan, kecuali berkaitan dengan keamanan atau keselamatan pekerjaan
  • Pengobatan cuma-cuma
  • Cuti ditanggung perusahaan
  • PPh 21 ditanggung perusahaan
  • Sebagian penyusutan, biaya perbaikan, biaya pemeliharaan serta bahan bakar atas kendaraan perusahaan yang dikuasai dan dibawa pulang pegawai tertentu.

Bagi Perusahaan Non Deductible Expense, Bagi Karyawan Taxable Income
Biaya dalam kelompok ini adalah pembagian laba perusahaan kepada pegawai dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti:
  • Jasa produksi
  • Jasa prestasi
  • Tantiem
  • Gatifikasi
  • Bonus

Bagi Perusahaan Deductible Expense, Bagi Karyawan Non Taxable Income
Biaya yang termasuk dalam kelompok ini adalah berupa imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu seperti:
  • Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa.
  • Makanan dan minuman bagi pegawai, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada tempat penjualan makanan/minuman.
  • Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada sarana kesehatan misalnya poliklinik atau rumah sakit.
  • Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada sarana pendidikan yang setara.
  • Pengangkutan bagi pegawai di lokasi bekerja, pengangkutan anggota keluarga untuk pertama kali dan pengangkutan pegawai dan keluarganya sehubungan terhentinya hubungan kerja.
  • Olahraga bagi pegawai  dan keluarganya  sepanjang di  lokasi bekerja tidak tersedia sarana tersebut, kecuali sarana olah raga golf, boating dan pacuan kuda.

Termasuk pula dalam kelompok ini adalah pemberian natura dan kenikmatan sehubungan dengan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan dan keterkaitan dengan situasi lingkungan seperti:
  • pakaian dan peralatan pemadam kebakaran,
  • pakaian dan peralatan proyek,
  • pakaian seragam pabrik,
  • pakaian seragam satpam,
  • makanan, minuman, penginapan awak kapal/pesawat,
  • antar jemput pegawai,
  • pakaian seragam pegawai hotel,
  • pakaian penyiar TV,
  • makanan tambahan untuk operator komputer/pengetik, dan
  • makan/minum cuma-cuma pegawai restoran.

4.      Rekonsiliasi Objek PPh Pasal 21 Dengan Unsur-Unsur Biaya Karyawan:
Beda Waktu
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena:
-          Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena:
-          Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun.
-          Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO.
-          Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu.
-          Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
-          Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
Beda Tetap
Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena:
-          Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).
-          Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
a.       Bunga Deposito dan Tabungan lainnya,
b.      Penghasilan berupa hadiah undian,
c.       Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
d.      Penghasilan dari  usaha jasa konstruksi,
e.       Penghasilan dari persewaan,
f.       dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh).
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya: biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
a.       yang bukan objek pajak;
b.      yang pengenaan pajaknya bersifat final;
c.       yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan;
d.      penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan  dalam bentuk natura dan kenikmatan.
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial  namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil. Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.























Studi Kasus

Secara matematis untuk menghitung PPh Pasal 21 Metode  Gross Up yaitu:
Lapisan 1  :  untuk PKP 0  -  Rp. 50.000.000
      Pajak  =  1/0,95 (PKP x 5%)
Lapisan 2  :   untuk PKP Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000
       Pajak =  1/0,85 (PKP x 15%) – Rp. 5.000.000
Lapisan 3  :  untuk PKP Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000
       Pajak =  1,075 (PKP x 25/100) – Rp. 30.000.000       
Lapisan 4  :  untuk PKP di atas Rp. 500.000.000
             Pajak =  1/0,70 (PKP x 35%) – Rp. 55.000.000

Contoh
Tuan X , pegawai Tetap PT. ABC dengan status TK/0  mendapatkan gaji Rp.138.000.000/tahun, Perusahaan memberikan tunjangan JKK 0,89%, JKM 0,30% sedangkan untuk tunjangan JHT sebesar 2% ditanggung sendiri oleh karyawan PTKP Rp. 54.000.000 , perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:

Tabel Perbandingan Karyawan Dengan Penerapan Metode Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21


Berdasarkan hasil perhitungan, dengan menggunakan net method dan gross method jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 atas karyawan tidak berbeda yaitu Rp Rp. 6.397.330. Namun, karyawan akan menerima take home pay lebih besar jika menerapkan net method (PPH Pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja) Rp. 139.642.200 dibanding gross method (PPH Pasal 21 ditanggung oleh karyawan, pemberi kerja hanya sebagai pemotong dan penyetor) Rp. 133.244.870. Jumlah PPh Pasal 21 atas karyawan berbeda jika menggunakan gross-up-method menjadi Rp. 7.526.271, selisih Rp. 1.146.941 lebih tinggi dibanding kedua metode sebelumnya. Dari sudut pandang karyawan, metode gross-up menjadikan besarnya penghasilan bruto bertambah atas tunjangan pajak (bersifat taxable) yang diperhitungkan dengan rumus gross-up sedangkan take home pay sama dengan net method Rp. 139.642.200. karena kewajiban PPh Pasal 21 karyawan yang dipotong sama besar dengan tunjangan pajak yang diterima. Bagi pihak perusahaan,apabila menerapkan net method menjadikan jumlah yang dikeluarkan perusahaan terdiri dari biaya gaji dan biaya PPh Pasal 21 atas karyawan. Namun besarnya PPh Pasal 21 atas karyawan yang ditanggung akan dikoreksi secara fiskal positif sebesar Rp. 6.397.330 mengakibatkan tambahan pajak perusahaan. Apabila menggunakan metode gross tidak ada pengaruh yang terjadi pada perusahaan karena perusahaan hanya memotong, memungut, melapor dan kemudian menyetorkan kepada negara, jumlah yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar total biaya gaji untuk karyawan. Berbeda apabila menerapkan metode gross-up, jumlah yang dikeluarkan perusahaan memang besar diantara ketiga metode tersebut yaitu Rp. 147.168.471, namun tunjangan pajak Rp. 7.526.271 yang dikeluarkan perusahaan merupakan deductable expenses sehingga tidak akan dikoreksi fiskal positif. Hal tersebut menyebabkan laba sebelum pajak perusahaan lebih kecil, selanjutnya terjadi penghematan pajak perusahaan.














Daftar Pustaka
Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. “Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan”.
http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-pasal-21/157-taxable-non-taxable-income.
Muhammad, Ar. 2012. Biaya Pegawai De Atau Nde. [Online]. (https://armuhammad.wordpress.com/2012/06/05/biaya-pegawai-de-atau-nde/, diakses tanggal 7 April 2018).
Pohan, Chairil Anwar. 2013. Manajemen Perpajakan.Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia.



Komentar

Postingan Populer