TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PPh PASAL 21
1.
Kompensasi
Karyawan: Tunai Versus Natura
Untuk
perusahaan yang dikenakan PPh badan dengan tarif umum (pasal 17 UU PPh), bukan
yang dikenakan PPh Final atau dikenakan PPh berdasarkan deemed profit, pada dasarnya berlaku prinsip umum antara PPh Pasal
21 dengan PPh badan. Pertama, apabila penghasilan pegawai dalam bentuk tunai
(bersifat benefit in cash), maka
penghasilan itu menjadi Objek PPh Pasal 21 (taxable
income/TI). Dalam PPh badan, dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expenses/DE). Contohnya, pembayaran
gaji, THR, tunjangan-tunjangan, dan sebagainya.
Kedua,
apabila penghasilan pegawai dalam bentuk natura, fasilitas atau kenikmatan (bersifat
benefit in kinds), maka penghasilan
tersebut bukan merupakan Objek PPh Pasal 21 (non taxable income/NTI). Di PPh badan, tidak dapat dibebankan
sebagai biaya (non deductible
expenses/NDE). Contohnya, pemberian fasilitas berobat gratis, pemberian kendaraan,
dan sebagainya.
Natura
merupakan imbalan atau kenikmatan atau benefit yang diberikan kepada pegawai
atau pekerja yang bukan dalam bentuk uang. Imbalan atau kenikmatan yang
dimaksud merupakan penghasilan bagi karyawan namun tidak dimasukkan sebagai bagian
dari gaji atau upah yang diterima karyawan. Natura biasanya diberikan pada
waktu-waktu tertentu dimana suatu pencapaian telah dihasilkan atau diraih, atau
diharapkan dari pemberian natura tersebut dapat mempermudah pekerjaan penerima
natura.
Secara
umum pemberian natura dan kenikmatan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan
dan tidak bisa dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible–nontaxable).
Hal tersebut terkecuali yang diatur khusus seperti makanan dan minuman yang
diberikan kepada seluruh karyawan di tempat kerja dan kendaraan dinas yang
digunakan untuk pegawai tertentu karena pekerjaan atau jabatannya (deductible–nontaxable)
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2009.
Sebagai contoh yaitu bentuk pemberian
makan ada beberapa macam, tergantung dari kebijakan perusahaan, yaitu:
1. Diberikan
dalam bentuk uang (benefit in cash), atau biasa disebut dengan istilah
uang makan.
Keunggulan
pegawai diberikan uang makan adalah pegawai bisa memilih sendiri ingin
menyantap makan apa dengan harga yang sesuai dengan daya beli masing-masing.
Namun, pemberian tunjangan uang makan ini harus diperhatikan aspek pajaknya.
Dari sisi pajak, benefit in cash bagi pegawai merupakan objek
penghasilan dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 bagi perusahaan dan
merupakan deductible expense.
2. Diberikan
dalam bentuk non-tunai (benefit in kinds).
Pemberian
biaya makan pegawai dalam bentuk non-tunai dapat dikategorikan sebagai natura
dan kenikmatan, yang menurut UU PPh tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto, dikecualikan penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai. Dari
sisi perusahaan, penyediaan makanan dan minuman bisa dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan membeli dari perusahaan katering atau membeli bahan makanan dan
memasaknya sendiri di tempat kerja.
Ada
kalanya tidak semua pegawai dapat menikmati makanan dan minuman yang disediakan
di tempat kerja karena alasan dinas luar. Dalam hal ini, perusahaan
diperkenankan untuk memberikan kupon atau voucher makan kepada pegawai yang bersangkutan
dengan nilai kupon yang wajar. Nilai kupon akan dianggap wajar apabila tidak
melebihi pengeluaran penyediaan makanan dan atau minuman tiap pegawai yang
disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.
Treatment Umum PPh Badan untuk
Kompensasi Karyawan (Biaya Pegawai)
Dalam menentukan apakah Biaya
Pegawai boleh dibebankan sebagai biaya (DE) atau tidak boleh dibebankan sebagai
biaya (NDE), ketentuan umum yang harus kita perhatikan adalah Pasal 6 dan Pasal
9 UU PPh (UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).
Pasal 6 UU PPh adalah pasal yang menyebutkan biaya-biaya
yang DE sedangkan Pasal 9 UU PPh adalah pasal yang menyebutkan beberapa jenis
biaya yang NDE. Dari kedua pasal itu, kita bisa memetik kesimpulan umum
bahwa treatment PPh terkait dengan Biaya Pegawai tersebut adalah:
>> untuk Biaya Pegawai yang uangnya diberikan secara
langsung kepada pegawai, pada umumnya boleh dibebankan sebagai biaya di SPT
Tahunan PPh perusahaan (DE). Ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU
PPh yang menyatakan sebagai berikut:
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk: upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.”
>> untuk Biaya Pegawai yang diberikan secara langsung
kepada pegawai tetapi diberikan dalam bentuk barang atau fasilitas, pada
umumnya tidak boleh dibebankan sebagai biata di SPT Tahunan PPh perusahaan
(NDE). Penegasan ini dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh
yang menyatakan bahwa:
“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan…”
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‘dalam bentuk natura’ adalah
dalam bentuk barang seperti tunjangan dalam bentuk beras dan sembako,
dlsb. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘kenikmatan’ adalah
dalam bentuk fasilitas seperti fasilitas mess karyawan, fasilitas pengobatan,
fasilitas penggunaan ponsel/HP, dlsb.
>> untuk Biaya Pegawai yang uangnya diberikan kepada
pihak ketiga (tidak kepada pegawai), pada umumnya tidak tidak boleh dibebankan
sebagai biata di SPT Tahunan PPh perusahaan (NDE). Ini sama dengan poin b di
atas. Dalam hal ini belanja Biaya Pegawai yang uangnya diberikan kepada
pihak ketiga untuk menyediakan keperluan dan kebutuhan karyawan, termasuk dalam
kategori ‘kenikmatan’ atau fasilitas bagi karyawan.
Beberapa Pengecualian
Selain Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, ada beberapa ketentuan
yang secara khusus mengatur mengenai masalah DE dan NDE-nya Biaya Pegawai, di
antaranya adalah:
- Penyediaan
Makan dan Minum –> Seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU
PPh, pemberian natura kepada pegawai dalam bentuk penyediaan makanan dan
minuman bagi pegawai merupakan biaya yang boleh dibebankan dalam SPT
Tahunan PPh perusahaan. Hal ini juga ditegaskan oleh Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009. Ketentuan ini berlaku secara
umum tanpa melihat apakah perusahaan tersebut berada di daerah terpencil
atau bukan di daerah terpencil. Artinya, jika perusahaan memilih
kebijakan untuk menyediakan makan siang untuk karyawan (maupun makan malam
bagi pegawai yang lembur) dari pada memberikan uang tunjangan makan, maka
Biaya Pegawai untuk penyediaan makanan dan minuman itu boleh dibiayakan
(DE).
- Penyediaan
Kendaraan dan HP Dinas –> Seperti ditegaskan dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor
KEP-220/PJ./2002 mengenai perlakuan PPh atas biaya pemakaian telepon
seluler dan kendaraan perusahaan, biaya sehubungan dengan kendaraan yang
dimiliki atau disewa oleh perusahaan dan dipergunakan oleh karyawan
tertentu secara penguasaan penuh (dibawa pulang), dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan hanya sebesar 50% (dari biaya penyusutan atau biaya sewa
kendaraan). Ketentuan ini berlaku umum untuk seluruh Wajib
Pajak. Selain itu, penetapan DE hanya 50% ini tidak hanya berlaku
terhadap biaya penyusutan atau biaya sewa kendaraan tetapi untuk seluruh
biaya terkait kendaraan dan HP dinas seperti biaya perbaikan, pemeliharaan,
ganti oli, uang tol, voucher isi ulang, dlsb.
- Natura
dan Kenikmatan di Daerah Terpencil –> Bagi perusahaan yang sudah
mendapat penetapan (SK) dari Menteri Keuangan sebagai Daerah Terpencil,
Biaya Pegawai yang diberikan dalam bentuk natura maupun kenikmatan
tertentu dapat dibiayakan (DE) seperti mess karyawan, sarana kesehatan,
sarana pendidikan, dlsb baik yang disediakan untuk karyawan maupun
keluarganya. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (1) huruf
e UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009.
- Premi
Asuransi–> Bagi
perusahaan yang mengikutsertakan pegawainya pada programasuransi
kesehatan, kecelakaan, jiwa, beasiswa dan asuransi dwiguna, dan
kemudian perusahaan juga menanggung sebagian premi asuransi tersebut, maka
premi asuransi yang ditanggung perusahaan (bukan yang dipotong dari gaji,
lho) boleh dibiayakan (DE). Meskipun uang preminya tidak diberikan ke
pegawai melainkan langsung diberikan kepada perusahaan asuransi, namun
menurut Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh premi asuransi yang ditanggung
perusahaan (pemberi kerja) itu DE. Ketentuan ini juga berlaku
terhadap program JK, JPK dan JKK yang ada di Jamsostek. Sebab
menurut SE-02/PJ.31/1996perlakuan terhadap ketiga program Jamsostek
tersebut dipesamakan dengan kelima program asuransi yang disebutkan dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh.
- Iuran
Pensiun–> Sama
seperti premi asuransi, Iuran Pensiun untuk pegawai yang ditanggung oleh
perusahaan dan dibayarkan kepada dana pensiun juga boleh dibiayakan (DE)
dengan syarat dana pensiun tersebut sudah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat
(1) huruf c UU PPh. Begitupun dengan program JHT yang dibayarkan
kepada Jamsostek (SE-02/PJ.31/1996). Tetapi harap diingat, yang
boleh dibiayakan perusahaan hanya sebesar yang ditanggung oleh perusahaan
dan bukan yang dipotong dari gaji karyawan.
- Perusahaan
Dikenakan PPh Final –> Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010,
diatur beberapa ketentuan khusus mengenai DE dan NDE. Misalnya, bagi
perusahaan yang menurut ketentuan PPh dikenakan PPh Badan bersifat final,
maka apapun cara maupun bentuk Biaya Pegawai tersebut seluruhnya tidak
boleh dibiayakan (NDE). Ketentuan ini juga berlaku terhadap WP Badan
yang penghasilannya ditetapkan sebagainon taxable income (bukan
objek PPh) seperti yayasan atau organisasi nirlaba yang penghasilannya
hanya berupa sumbangan atau donasi. Sedangkan perusahaan yang
menurut ketentuan PPh dikenakan PPh badan bersifat final antara lain:
Perusahaan yang bergerak di bidang usaha persewaan tanah maupun
bangunan; Perusahaan yang bergerak di bidang usaha jual-beli tanah
maupun bangunan (developer atau pengembang property); Perusahaan yang
bergerak di bidang usaha jasa konstruksi; Perusahaan yang bergerak di
bidang usaha pelayaran dalam negeri; BUT dari perusahaan pelayaran luar
negeri; Pemberi kerja WP orang pribadi yang penghitungan PPh-nya
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Gross
Method, Net Method, dan Gross Up Method
Pada
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terdapat beberapa metode yang bisa
digunakan, Gross Method, Net Method, dan Gross Up Method.
a.
Gross
method merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan
menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.
b.
Net Method merupakan metode
pemotongan pajak dimana perusahaan menaggung pajak karyawannya.
c.
Gross
Up Method merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan
memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang
akan dipotong dari karyawan.
Pada
penerapan Gross Method dan Net Method hanya akan menguntungkan
salah satu pihak sedangkan pihak lainnya rugi. Namun Gross Up Method dapat memberikan keadilan pada kedua belah pihak
karena bagi perusahaan tunjangan pajak dapat diakui sebagai biaya, sedangkan
bagi pegawai dianggap sebagai penghasilan. Perhitungan tunjangan pajak pada Gross Up Method diformulasikan untuk
menyamakan jumlah pajak yang akan dipotong dengan tunjangan pajak yang akan
diberikan perusahaan terhadap pegawainya.
3.
Konsep
Taxable dan Deductible Terkait Dengan Unsur-Unsur Biaya Karyawan
Bagi Wajib
Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha, salah
satu biaya yang pasti ada adalah biaya tenaga kerja atau biaya karyawan. Nah,
kalau kita lihat dalam konteks Pajak Penghasilan, ada dua pihak yang terlibat
terkait dengan kewajiban Pajak Penghasilan. Yang pertama adalah Wajib Pajak
Badan atau Orang Pribadi sebagai pemberi kerja. Biaya tenaga kerja terkait
langsung dengan Pajak Penghasilan terutang karena biaya tenaga kerja adalah
salah satu unsur biaya yang menentukan jumlah pajak terutang.
Yang
kedua, adalah karyawan sebagai penerima penghasilan. Biaya karyawan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja merupakan penghasilan yang bisa menjadi objek
atau bukan objek pemotongan PPh Pasal 21. Nah, jika kita membagi biaya tenaga
kerja dilihat dari kedua pihak ini, maka biaya tenaga kerja dapat digolongkan
menjadi empat bagian.
Bagi Perusahaan Deductible Expense,
Bagi Karyawan Taxable Income
Dalam kelompok ini, biaya tenaga
kerja merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam penghitungan Pajak
Penghasilan terutang (deductible) dan bagi karyawan biaya tenaga kerja ini
merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 (taxable income). Pada
umumnya, biaya-biaya di sini adalah imbalan kepada karyawan dalam bentuk uang,
yaitu:
- Gaji pokok, uang lembur, THR
- Tunjangan: makan, transportasi,
PPh 21, pengobatan, perumahan
- Premi asuransi pegawai dibayar
perusahaan
- Penggantian pengobatan,
pemberian uang sewa rumah, uang cuti
- Pemberian uang, selain
pembagian laba
Bagi Perusahaan Non Deductible
Expense, Bagi Karyawan Non Taxable Income
Dalam kelompok ini, juga masih
berlaku prinsip deductible taxable. Biaya-biaya yang termasuk dalam kelompok
ini adalah:
- Pemberian dalam bentuk natura
- Pemberian pakaiaan, kecuali
berkaitan dengan keamanan atau keselamatan pekerjaan
- Pengobatan cuma-cuma
- Cuti ditanggung perusahaan
- PPh 21 ditanggung perusahaan
- Sebagian penyusutan, biaya
perbaikan, biaya pemeliharaan serta bahan bakar atas kendaraan perusahaan
yang dikuasai dan dibawa pulang pegawai tertentu.
Bagi Perusahaan Non Deductible
Expense, Bagi Karyawan Taxable Income
Biaya dalam kelompok ini adalah
pembagian laba perusahaan kepada pegawai dengan nama dan dalam bentuk apapun
seperti:
- Jasa
produksi
- Jasa
prestasi
- Tantiem
- Gatifikasi
- Bonus
Bagi Perusahaan Deductible Expense,
Bagi Karyawan Non Taxable Income
Biaya yang
termasuk dalam kelompok ini adalah berupa imbalan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan di daerah tertentu seperti:
- Tempat
tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di
lokasi bekerja tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa.
- Makanan
dan minuman bagi pegawai, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada tempat
penjualan makanan/minuman.
- Pelayanan
kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada sarana kesehatan misalnya
poliklinik atau rumah sakit.
- Pendidikan
bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada sarana
pendidikan yang setara.
- Pengangkutan
bagi pegawai di lokasi bekerja, pengangkutan anggota keluarga untuk
pertama kali dan pengangkutan pegawai dan keluarganya sehubungan
terhentinya hubungan kerja.
- Olahraga
bagi pegawai dan keluarganya sepanjang di lokasi bekerja
tidak tersedia sarana tersebut, kecuali sarana olah raga golf, boating dan
pacuan kuda.
Termasuk pula
dalam kelompok ini adalah pemberian natura dan kenikmatan sehubungan dengan
keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan dan keterkaitan dengan situasi lingkungan
seperti:
- pakaian dan peralatan pemadam
kebakaran,
- pakaian dan peralatan proyek,
- pakaian seragam pabrik,
- pakaian seragam satpam,
- makanan, minuman, penginapan
awak kapal/pesawat,
- antar jemput pegawai,
- pakaian seragam pegawai hotel,
- pakaian penyiar TV,
- makanan tambahan untuk operator
komputer/pengetik, dan
- makan/minum
cuma-cuma pegawai restoran.
4.
Rekonsiliasi
Objek PPh Pasal 21 Dengan Unsur-Unsur Biaya Karyawan:
Beda
Waktu
Beda Waktu merupakan perbedaan
pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan
ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang
dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak
berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi
karena:
-
Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih
dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus
dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost
with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus
diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal
pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena:
-
Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut
Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus
dan saldo menurun.
-
Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana
menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya
metode rata-rata dan FIFO.
-
Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut
Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk
usaha-usaha tertentu.
-
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan
menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan
koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan
menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif
tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
-
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan
koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
Beda
Tetap
Beda Tetap merupakan
perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial
dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi
fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun
pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap
terjadi karena:
-
Menurut akuntansi komersial merupakan
penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan,
contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal
dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).
-
Menurut akuntansi komersial merupakan
penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final,
contohnya:
a. Bunga
Deposito dan Tabungan lainnya,
b. Penghasilan
berupa hadiah undian,
c. Penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
d. Penghasilan
dari usaha jasa konstruksi,
e. Penghasilan
dari persewaan,
f. dan
sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh).
Dalam
hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi
komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan
biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya: biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
a. yang
bukan objek pajak;
b. yang
pengenaan pajaknya bersifat final;
c. yang
dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan;
d. penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan.
Koreksi
atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya
penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal
harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah
dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang
akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil. Koreksi atas beda
tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba
kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan
lebih besar.
Studi Kasus
Secara
matematis untuk menghitung PPh Pasal 21 Metode Gross Up
yaitu:
Lapisan
1 :
untuk PKP 0 - Rp. 50.000.000
Pajak
= 1/0,95 (PKP x 5%)
Lapisan
2 :
untuk PKP Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000
Pajak =
1/0,85 (PKP x 15%) – Rp. 5.000.000
Lapisan
3 :
untuk PKP Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000
Pajak =
1,075 (PKP x 25/100) – Rp. 30.000.000
Lapisan
4 :
untuk PKP di atas Rp. 500.000.000
Pajak = 1/0,70 (PKP x 35%) – Rp. 55.000.000
Contoh
Tuan X , pegawai Tetap
PT. ABC dengan status TK/0 mendapatkan
gaji Rp.138.000.000/tahun, Perusahaan memberikan tunjangan JKK 0,89%, JKM 0,30%
sedangkan untuk tunjangan JHT sebesar 2% ditanggung sendiri oleh karyawan PTKP
Rp. 54.000.000 , perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Tabel Perbandingan Karyawan Dengan Penerapan Metode Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21
Berdasarkan hasil
perhitungan, dengan menggunakan net method dan gross method
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 atas karyawan tidak berbeda yaitu Rp Rp.
6.397.330. Namun, karyawan akan menerima take home pay lebih besar jika
menerapkan net method (PPH Pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja) Rp.
139.642.200 dibanding gross method (PPH Pasal 21 ditanggung oleh
karyawan, pemberi kerja hanya sebagai pemotong dan penyetor) Rp. 133.244.870.
Jumlah PPh Pasal 21 atas karyawan berbeda jika menggunakan gross-up-method menjadi
Rp. 7.526.271, selisih Rp. 1.146.941 lebih tinggi dibanding kedua metode
sebelumnya. Dari sudut pandang karyawan, metode gross-up menjadikan
besarnya penghasilan bruto bertambah atas tunjangan pajak (bersifat taxable)
yang diperhitungkan dengan rumus gross-up sedangkan take home pay
sama dengan net method Rp. 139.642.200. karena kewajiban PPh Pasal 21
karyawan yang dipotong sama besar dengan tunjangan pajak yang diterima. Bagi
pihak perusahaan,apabila menerapkan net method menjadikan jumlah yang
dikeluarkan perusahaan terdiri dari biaya gaji dan biaya PPh Pasal 21 atas
karyawan. Namun besarnya PPh Pasal 21 atas karyawan yang ditanggung akan
dikoreksi secara fiskal positif sebesar Rp. 6.397.330 mengakibatkan tambahan
pajak perusahaan. Apabila menggunakan metode gross tidak ada pengaruh
yang terjadi pada perusahaan karena perusahaan hanya memotong, memungut,
melapor dan kemudian menyetorkan kepada negara, jumlah yang dikeluarkan oleh
perusahaan sebesar total biaya gaji untuk karyawan. Berbeda apabila menerapkan
metode gross-up, jumlah yang dikeluarkan perusahaan memang besar
diantara ketiga metode tersebut yaitu Rp. 147.168.471, namun tunjangan pajak
Rp. 7.526.271 yang dikeluarkan perusahaan merupakan deductable expenses
sehingga tidak akan dikoreksi fiskal positif. Hal tersebut menyebabkan laba
sebelum pajak perusahaan lebih kecil, selanjutnya terjadi penghematan pajak
perusahaan.
Daftar
Pustaka
Ikatan Akuntan Indonesia. 2015.
“Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan”.
http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-pasal-21/157-taxable-non-taxable-income.
Muhammad, Ar. 2012. Biaya Pegawai De
Atau Nde. [Online]. (https://armuhammad.wordpress.com/2012/06/05/biaya-pegawai-de-atau-nde/,
diakses tanggal 7 April 2018).
Pohan, Chairil Anwar. 2013. Manajemen
Perpajakan.Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia.
Komentar
Posting Komentar