PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN BIAYA


1.      PENDAHULUAN

Biaya, mungkin hal ini tidak bisa dilepaskan dari keseharian kita. Biaya dibutuhkan ketika

kita menginginkan suatu barang atau jasa. Untuk bersekolah atau kuliah, kita perlu membayar biaya. Dalam ilmu akuntansi dan manajemen, biaya dapat diartikan sebagai pengorbanan ekonomis yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasa. Biaya juga bisa berarti sesuatu yang berkonotasi sebagai penunjang yang harus dikorbankan untuk memperoleh tujuan akhir, yaitu mendatangkan laba.

Biaya (cost) adalah kas atau setara kas yang dikorbankan untuk membeli barang atau jasa yang diharapakan akan memberikan manfaat bagi perusahaan saat sekarang atau periode mendatang. Akuntansi biaya merupakan suatu bidang akuntansi yang diperuntukkan bagi proses pelacakan dan analisa terhadap biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas suatu organisasi untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangakan, Manajemen Biaya adalah sistem yang didesain untuk menyediakaninformasi bagi manajemen untuk mengidentifikasikan peluang-peluang penyempurnaan, perencanaan strategi, dan pembuatan keputusan operasional mengenai pengadaan dan penggunaan sumber-sumber yang diperlukan oleh organisasi.

Sistem manajemen biaya terdiriatas semua alat-alat, teknik-teknik, dan metode-metode yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem manajemen biaya. Sistem manajemen biaya terintegrasi menunjukkan adanya hubungan dengan elemen-elemen sistem lainnya, yaitu: (a) sistem desain dan pengembangan, (b) sistem pembelian dan produksi, (c) sistem pelayanan konsumen, dan (d) sistem pemasaran dandistribusi. Manfaat Sistem Manajemen Biaya membantu manajemen untuk:

  • Merencanakan dan mengendalikan organisasi
  • Meningkatkan keterlacakan biaya

  • Mengoptimalkan kinerja dalam hidup
  • Membuat keputusan

  • Manajemen investasi Mengukur kinerja

  • Mendukung otomasi dan filosofi pemanufakturan

Dalam  makalah  ini  akan  membahas  tentang  Activity  Based  Costing  (ABC),  hal  ini dikarenakan informasi akuntansi keuangan dan informasi akuntansi manajemen memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga informasi tersebut seharusnya dihasilkan dari dua sistem yang berbeda. Salah satu model yang dapat dipakai untuk mengembangkan sistem akuntansi


manajemen adalah Activity Based Costing (ABC). Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (ABC) dapat meningkatkan keakuratan pengalokasian biaya, yaitu pertama-tama dengan menelusuri biaya berbagai aktivitas, kemudian produk atau pelanggan yang menggunakan berbagai aktivitas tersebut.

Sistem ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk menghasilkan produk secara akurat. Hal ini didorong oleh:
  • Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective.

  • Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya overhead pabrik dalam product cost menjadi lebih tinggi dari primary cost.

  • Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategy.


2.   BIAYA   LANGSUNG   (DIRECT   COST)    DAN   BIAYA   TIDAK    LANGSUNG

(INDIRECT COST)

Hubungan antara biaya dan objek biaya dapat digali untuk membantu meningkatkan keakuratan pembebanan biaya. Pembebanan biaya secara akurat ke objek biaya sangatlah penting. Gagasan mengenai keakuratan tidak dievaluasi berdasarkan pengetahuan tentang biaya yang sebenarnya. Keakuratan adalah suatu konsep yang relatif dan harus dilakukan dengan wajar dan logis terhadap penggunaan motode pembebanan biaya. Tujuannya adalah untuk mengukur dan membebankan biaya terhadap sumber daya yang dikonsumsi oleh objek pajak. Hubungan biaya dan objek biaya dapat secara langsung atau tidak langsung.

a.       Biaya Langsung (Direct Cost)

Biaya Langsung biaya yang dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke objek biaya. “Mudah” berarti penelusurannya tidak rumit, sehingga tidak memerlukan biaya yang mahal. “Akurat” berarti biaya sumber daya yang dikonsumsi oleh biaya tersebut dapat dihitung secara akurat karena tidak memerlukan “alokasi biaya”. Biaya yang dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke objek biaya adalah biaya untuk sumber biaya yang semata-mata dikonsumsi oleh objek biaya tersebut. Karena sumber dayanya hanya dikonsumsi oleh objek biaya tertentu. Oleh karena itu, pembebanan biaya yang paling akurat ke objek biaya adalah biaya langsung.Misalnya yaitu, biaya bahan mentah atau bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung.

b.      Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)

Biaya Tidak Langsung adalah biaya yang tidak dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke objek biaya. Hal itu karena biayanya dikonsumsi secara bersama oleh beberapa objek pajak. Biaya tidak langsung disebut juga dengan biaya bersama. Biaya ini dibebankan pada produk dengan menggunakan alokasi. Jika dasar alokasinya tidak akurat maka pembebanan biaya ke objek biaya juga tidak akurat. Karena itu, masalah utama dalam penghitungan biaya suatu objek biaya adalah pembebanan biaya tidak langsung yaitu bagaimana membebankannya pada produk secara akurat agar tidak terjadi harga pokok produk terlalu tinggi atau terlalu rendah. Misalnya yaitu, biaya upah mandor, biaya listrik biaya penyusutan mesin, biaya perbaikan gedung, dan lainnya.

Jika perusahaan menetapkan harga jual berbasis biaya, maka harga pokok yang terlalu tinggi akan mengakibatkan harga jual juga tinggi dan produk menjadi tidak kompetitif. Sebaliknya jika harga pokok terlalu rendah maka produk tersebut sangat kompetitif karena harga jual akan lebih rendah dari kompetitor. Namun produk tersebut seakan-akan berlaba, tetapi kenyataannya rugi.


3.      ACTIVITY BASED COSTING

Penghitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (activity based costing) disebut juga dengan perhitungan harga pokok tersaring. Activity Based Costing adalah system akuntansi yang terfokus pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk atau jasa. ABC menyediakan informasi perihal aktivitas-aktivitas dan sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian atau transaksi yang merupakan pemicu biaya yakni bertindak sebagai faktor penyebab dalam pengeluaran biaya organisasi.

Perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas berfokus pada proses bisnis, bukan pada departemen produksi. Idealnya perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas mencakup semua biaya yang terjadi pada sepanjang rantai nilai yang terdiri dari riset dan pengembangan produk, perancangan produk, produksi, pemasaran, distribusi, dan layanan kepada pelanggan. Karena pendekatannya pada proses, perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas disebut juga perhitungan harga pokok produk berbasis proses. Perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas lebih rumit karena informasi biayanya lebih terperinci dibandingkan perhitungan harga pokok produk tradisional. Akan tetapi dengan semakin canggihnya teknologi informasi, kerumitan perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas ini dapat teratasi.


Dengan Penghitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (activity based costing), biaya overhead pabrik dibebankan ke objek biaya seperti barang/ jasa dengan mengidentifikasi sumber daya, aktivitas, dan biayanya serta kuantitas aktivitas dan sumber daya yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Sistem harga pokok ABC bertujuan memahami overhead dan profitabilitas produk konsumen. ABC adalah metode costing yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategik dan keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas biaya dan juga biaya tetap.

Keuntungan dan Keterbatasan dari Activity Based Costing
Keuntungan

1.      ABC menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informative, yang menuju pada pengukuran kemampuan perolehan laba atas produk yang lebih akurat dan keputusan-keputusan strategis yang diinformasikan dengan lebih baik mengenai harga jual, lini produk, pasar pelanggan dan pengeluaran modal.

2.      ABC memberikan pengukuran yang lebih akurat atas biaya-biaya pemacu aktivitas, yang membantu manajer memperbaiki produk dan proses menilai dengan membuat keputusan desain produk yang lebih baik, pengendalian biaya yang lebih baik dan membantu mempertinggi berbagai nilai objek.

3.      ABC membantu manajer lebih mudah mengakses informasi tentang biaya-biaya yang

relevan dalam membuat keputusan bisnis.

Keterbatasan

1.      Pengalokasian, sekalipun data aktivitas tersedia, banyak biaya-biaya mungkin perlu dialokasikan dan produk-produk yang didasarkan pada ukuran volume berubah-ubah karena secara praktis tidak dapat ditemukan suatu aktivitas khusus yang menyebabkan timbulnya biaya-biaya tidak menjadi mudah.

2.      Biaya-biaya yang diabaikan, banyak biaya produk-produk khusus yang dihilangkan dari analisis.Aktivitas-aktivitas tersebut menyebabkan biaya-biaya seperti pemasaran, periklanan, riset dan pengembangan, teknik produk dan klaim jaminan.

3.      Biaya dan waktu yang digunakan, system ABC sangat mahal untuk dikembangkan dan diterapkan. Hal ini juga sangat memakan waktu. Seperti kebanyakan manajemen inovasi atau sistm akuntansi, seringkali memerlukan lebih dari setahun untuk mengembangkan dan melaksanakan ABC dengan berhasil.

Contoh Soal (Activity Based Costing)

PT Trend. Tbk menjual 2 produk yaitu tas dan sepatu, datanya akan disajikan sebagai berikut:

Keterangan

Produk







Tas
Sepatu



Volume produksi
Rp 10.000
Rp 40.000




Harga Jual
Rp 12.000
Rp
6.000





Biaya Utama
Rp
6.000
Rp
3.000




Jam Kerja Langsung
Rp
5.000
Rp 10.000






Akuntan manajemen PT Trend. Tbk mengidentikasi aktivitas cost yang dianggarkan memiliki data, sebagai berikut:

Aktivitas

Anggara Cost



Rekayasa
Rp
300.000


Set up
Rp 1.000.000


Perputaran mesin
Rp 3.000.000



Pengemasan
Rp
200.000


Total
Rp 4.500.000



Aktivitas sesungguhnya produk Tas dan Sepatu, disajikan data sebagai berikut:

Aktivitas
Konsumsi/Realisasi
Total



Tas
Sepatu





Rekayasa (jam)
6.000
9.000
15.000




Set up (jam)
400
600
1.000




Perputaran mesin (jam)
50.000
100.000
150.000




Pegemasan
5.000
20.000
25.000






Menghitung biaya per unit menggunakan metode ABC (activity based costing)

1.   Menghitung Tarif Aktivitas

Aktivitas
Total Biaya
Konsumsi Aktivitas
Tarif Aktifitas







Rekayasa (jam)
Rp
300.000
Rp
15.000
Rp
20






Set up (jam)
Rp 1.000.000
Rp
1.000
Rp
1.000






Perputaran mesin (jam)
Rp 3.000.000
Rp
150.000
Rp
20







Pegemasan
Rp
200.000
Rp
25.000
Rp
8






Total
Rp 4.500.000
Rp
191.000
Rp
1.048









2.      Biaya Overhead yang dibebankan Produk Tas

Aktivitas

Tarif

Konsumsi


Total BOP

BOP/Unit















Rekayasa (jam)
Rp
20

Rp
6.000


Rp
120.000

Rp
20














Set up (jam)
Rp
1.000

Rp
400


Rp
400.000

Rp 1.000















Perputaran mesin (jam)
Rp
20

Rp
50.000


Rp  1.000.000

Rp
20















Pegemasan
Rp
8

Rp
5.000


Rp
40.000

Rp
8














Total
Rp
1.048

Rp
61.400


Rp 1.560.000

Rp 1.048















Produk Sepatu
























Aktivitas

Tarif

Konsumsi


Total BOP

BOP/Unit















Rekayasa (jam)
Rp
20


9.000


Rp
180.000

Rp
20














Set up (jam)
Rp
1.000


600


Rp
600.000

Rp 1.000














Perputaran mesin (jam)
Rp
20

100.000


Rp  2.000.000

Rp
20















Pegemasan
Rp
8


20.000


Rp
160.000

Rp
8













Total
Rp
1.048

Rp 129.600


Rp 2.940.000

Rp 1.048














3.  Menghitung biaya per unit produk




















Keterangan

Tas

Sepatu













Biaya Utama
Rp 60.000.000
Rp 120.000.000














Biaya Overhead
Rp 10.480.000
Rp
41.920.000













Total Biaya
Rp 70.480.000
Rp 161.920.000



















Unit Produksi

10.000


40.000



















Biaya/Unit
Rp
7.048
Rp

4.048














































4.      ACTIVITY BASED COSTING WITH IDLE CAPACITY

Kelemahan model activity based costing yang telah dibahas adalah model ini hanya akan

memberikan gambaran mengenai kondisi perusahaan yang akurat saat ini. Namun demikian, jika model activity based costing ini tidak dapat dipergunakan untuk melihat dari dampak efesiensi yang dilakukan perusahaan. Meskipun perusahaan dapat melakukan efesiensi sedemikian rupa, sehingga dapat menghilangkan salah satu aktivitas yang dilakukannya. Hal tersebut belum tentu menjamin bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan otomatis akan mengalami penurunan.

Hal ini dikarenakan, jika perusahaan menghilangkan aktivitas, maka biaya tetap dari aktivitas tersebut tidak serta merta hilang, yang dapat dihilangkan adalah biaya non tetap. Karena itu, model activity based costing yang dapat dipergunakan untuk efesiensi adalah model activity based costing yang memisahkan biaya tetap dengan biaya non tetap.

Dalam model ABC, pembagian biaya berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1.      Biaya fleksibel, merupakan kategori biaya yang berfluktuasi sesuai dengan jumlah aktivitas yang dilakukan perusahaan. Biaya ini yang dapat dihilangkan oleh perusahaan.

2.      Biaya tetap, merupakan biaya yang muncul akibat adanya komitmen perusahaan terhadap penggunaan sumber daya untuk melakukan suatu aktivitas. Komitmen tersebut sudah dilakukan untuk suatu tertentu, sehingga sulit untuk dibatalkan. Biaya-biaya inilah yang akan tetap muncul walaupun perusahaan sudah dapat menghilangkan aktivitas yang memakai biaya-biaya tersebut. Jika aktivitas dihilangkan, maka biaya-biaya tersebut akan menjadi beban perusahaan dalam bentuk kapasitas menganggur.

Dalam model ABC ini, maka biaya tetap ini harus dibebankan berdasarkan kapasitas teoritis (theoretical capacity), atau kapasitas praktikal (practical capacity).

·         Kapasitas teoritis merupakan kapasitas maksimal dari penggunaan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Misalkan, perusahaan membayar seseorang untuk bekerja dalam perusahaan selama 8 jam per harinya. Jumlah itulah yang akan menjadi kapasitas teoritis orang perharinya. Sedangkan kapasitas teoritis dari mesin adalah kapasitas terpasang dari mesin tersebut.

·         Kapasitas praktikal merupakan kapasitas teoritis setelah dikurangi dengan waktu-waktu tidak produktif. Misalkan diperkirakan waktu tidak produktif dari seseorang selama satu hari adalah 2 jam, maka kapasitas praktikal dari orang tersebut adalah enam jam perhari. Kapasitas praktikal dari mesin adalah kapasitas teoritikal mesin dikurangi dengan kapasitas tidak produktif dari mesin tersebut, misalkan waktu kapasitas yang dipakai untuk pemeliharaan, dan lain-lain. Dalam model activity based costing ini, kapasitas yang dipergunakan biasanya adalah kapasitas praktikal.

Dalam akuntansi biaya tradisional, tarif overhead yang ditentukan dimuka dihitung dengan membagi anggaran biaya overhead dengan ukuran aktivitas yang dianggarkan seperti anggaran jam kerja langsung. Praktek seperti ini akan mengakibatkan pembebanan kapasitas yang menganggur ke produk dan juga akan menyebabkan biaya produksi per unit tidak stabil. Jika anggaran aktivitas turun, tarif overhead akan meningkat karena komponen tetap dalam overhead hanya digunakan untuk jumlah produk yang lebih sedikit sehingga biaya produksi per unit akan meningkat. Berlawanan dengan akuntansi biaya tradisional, dalam ABC produk hanya dibebani biaya dari kapasitas yang digunakan dan tidak dibebani oleh biaya kapasitas yang tidak digunakan.Pendekatan ini menyebabkan biaya per unit yang lebih stabil dan konsisten dengan tujuan pembebanan biaya ke produk yang menyebabkan aktivitas.

Ilustrasinya sebagai berikut: Tiga tahun yang lalu, PT AXA berada dalam kesulitan. Tingkat produksinya dibawah kapasitas normal.Perusahaan ini telah menyewa seorang manajer yang cukup terkenal dan bersedia mengambil alih kenali perusahaan.Dia seorang yang cukup bermurah hati.Dia mau dibayar dengan gaji yang relative rendah.Akan tetepi menuntut bonus 10% per tahun dari laba bersih berikut adalah laporan laba rugi perusahaan selama dia pimpin 3 tahun.

Tabel 3.1 Laporan Laba/Rugi PT AXA untuk Tahun ke 1 sampai ke 3 Dalam miliar (Metode Full Costing)


Keterangan


Tahun ke


Tahun ke


Tahun ke


Total




1


2


3






























Penjualan
34

50

60

144










Harga Pokok Penjualan
-

-

-

-










Persediaan Awal
-

-

6,4

6,4










Harga Pokok Produksi
25,4

38,4

33,4

97,2










Persediaan Akhir
-

-6,4

-

-6,4










HPP
25,4

32

39,8

97,2










Labar Kotor
8,6

18

20,2

46,8










Biaya Pemasaran
9,1

16,4

19,1

44,6











Laba/Rugi Bersih


-0,5


1,6


1,1


2,2




















Tabel 3.2 Laporan Laba/Rugi PT AXA untuk Tahun ke 1 sampai ke 3 Dalam miliar (Metode Variable Costing)


Keterangan


Tahun ke


Tahun ke


Tahun ke


Total




1


2


3






























Penjualan
34

50

60

144










(-) HPP Variabel
-

-

-

-










Persediaan Awal
-

-

5

5










Harga Pokok Produksi
17

30

25

72












Persediaan Akhir



-5




-5










HPP Variabel
17

25

30

72
















Biaya Pemasaran dan Administrasi










Variabel
8,5

12,5

15


36











Marjin Kontribusi
8,5

12,5

15


36











(-) BOP Tetap
8,4

8,4

8,4


25,2











Biaya Pemasaran dan Administrasi










Tetap
0,6

4,1

4,1


8,8












9


12,5

12,5


34











Laba Bersih
-0,5

-

2,5


2











Tabel 3.3 Perbedaan Laba/Rugi Metode Full Costing dan Variable Costing









Keterangan


Tahun Ke 1
Tahun Ke 2

Tahun Ke 3











Laba bersih (Metode FC)



-0,5
1,6

1,1








Laba bersih (Metode VC)



-0,5
0

2,5








Perbedaan



0,00
1,60

(1,40)























5.    TIME DRIVEN ACTIVITY

Sejarah Time Driven Activity Base Costing

Ketidakpastian lingkungan bisnis menyebabkan sistem pembiayaan terus mengalami perkembangan dan perbaikan. Traditional ABC muncul padatahun 1980an menggantikan traditional costing. Kemudian pada tahun 2003, konsep Time-Driven ABC mulai diperkenalkan dan dikembangkan untuk merevisi Traditional ABC. Berikut ini sejarah perkembangan Time-DrivenABC:

1.    Era Traditional Costing (Tahun 1925 sampai dengan tahun 1980an). Pada saat era penggunaan traditional costing, lingkungan bisnis masih stabil, tidak ada kompetisi baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan diferensiasi produk masih rendah. Hal ini menyebabkan sistem pengendalian biaya tidak terlalu penting bagi perusahaan. Sistem akuntansi manajemen tradisional cenderung berproduksi berdasarkan informasi besarnya biaya yang dialokasikan pada produk dengan metode sederhana dan berubah-ubah,dan alokasinya seringkali tidak berhubungan dengan permintaan yang dibuat oleh produk atas sumber daya perusahaan.
2.    Era Traditional ABC (Tahun 1980an sampai dengan tahun 2004)Pada tahun 1980an, dikembangkan sistem biaya yang baru menggantikan Traditional Costing, yaitu Traditional ABC. Traditional ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk menghasilkan mekanisme penghitungan biaya yang akurat. Hal ini didorong oleh:

(1)    Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective,

(2)     Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya overhead pabrik dalam product cost menjadi lebih tinggi dari primary cost, dan

(3)    Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategi.

3.    Era Time-Driven ABC (Tahun 2004 sampai dengan sekarang). Seiring dengan berjalannya waktu, Traditional ABC menjadi sulit diterapkan pada banyak perusahaan karena menimbulkan biaya yang mahal untuk keperluan wawancara dan survey terhadap sistem ABC. Selain masalah mahalnya biaya untuk wawancara dan survei, masih banyak kesulitan yang timbul dari aplikasi sistem Traditional ABC, padahal kompetisi usaha semakin ketat dan semakin kompleks. Untuk memperbaiki kekurangan yang timbul dari sistem Traditional ABC, maka pada tahun 2004, Robert S. Kaplan dan Steven R. Anderson mengembangkan inovasi baru terhadap sistem ABC yang disebut Time-Driven ABC.

Kekurangan ABC Sebagai Penyebab DikembangkannyaTime Driven ABC

Beberapa persoalan muncul di dalam praktek penerapan Traditional ABC, antara lain sebagai berikut:

1.      Proses wawancara dan survey kepada karyawan menelan biaya sangat mahal dan memakan waktu yang cukup panjang.

2.      Ketidak akuratan dan bias mempengaruhi keakuratan tarif cost driver yang berasal dari estimasi individual subjective atas perilaku mereka di masa lalu maupun di masa mendatang.

3.      Karena mahalnya biaya wawancara dan survey kepada karyawan, maka sistem ABC tidak diupdate secara rutin.

4.      Sulit menambah aktifitas baru ke dalam sistem, memerlukan estimasi ulang atas jumlah biaya yang harus ditetapkan untuk aktifitas yang baru.

5.      Sulit diterapkan pada perusahaan yang beroperasional pada skala besar.Dengan kata lain, Traditional ABC sulit untuk merespon peningkatan dari diversity dan kompleksitas pesanan maupun pelanggan, padahal perusahaan berskala besar pasti memiliki tingkat diversity dan kompleksitas pesanan maupun konsumen yang sangat tinggi.

Faktor-faktor di atas menyebabkan dikembangkannya sistem Time-Driven ABC yang diharapkan dapat memperbaiki kekurangan yang timbul dari Traditional ABC.


Pengertian Time Driven Activity Based Costing (TDABC)

Time driven activity based costing ini berhubungan dengan waktu, yang mana dalam proses produksi , seluruh aktivitas selalu dipengaruhi dan dibatasi oleh waktu. Meliputi di dalamnya upah tenaga kerja, depresiasi dan lain sebagainya karena merupakan kompensasi atas penggunaan waktu oleh manusia maupun oleh mesin dan peralatan yang digunakan. Sehingga waktu menjadi salah satu kendali yang dapat digunakan dalam melakukan analisa dan implementasi Time Driven Activity Based Costing. Sehingga dapat dikatakan, jika time driven ini adalah salah satu kendali yang dapat digunakan dalam melakukan analisa dan implementasi TDABC .



Menurut Kaplan et al. (2003), metode Time-Driven Activity-Based Costing hanya membutuhkan dua parameter, yaitu:

a.       unit cost untuk menghasilkan kapasitas, dan

b.      waktu yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi atau aktivitas (unit times).

Yang mana unit cost dapat dihitung dengan membagi biaya penyediaan kapasitas dengan kapasitas praktis. Sedangkan unit time dapat diperoleh dengan cara observasi langsung atau dengan wawancara dan tidak diperlukan akurasi yang tepat.

Sehingga Pembebanan biaya menggunakan metode Time-Driven Activity-Based Costing lebih sederhana, lebih murah, dan lebih cepat untuk diimplementasikan dibandingkan metode Activity-Based Costing.


Time Driven ABC: Pendekeatan yang Sederhana dan Kuat

Pendekatan alternatif untuk mengestimasi model ABC, yaitu Time-Driven ABC, mampu mengatasi segala keterbatasan dari Traditional ABC.Time-Driven ABC memerlukan dua estimasi baru yaitu: (1) Biaya per unit darikapasitas yang tersedia, dan (2) konsumsi unit waktu oleh setiap aktifitas.

Estimasi Biaya Per Unit
Prosedur yang baru dimulai dengan menggunakan informasi yang samadengan pendekatan Traditional ABC, yaitu:
1.      Menentukan besarnya biaya dari sumber daya yang menyediakan kapasitas.
2.      Mengestimasi kapasitas aktual dari sumber daya yang tersedia.
Dengan estimasi dari: (1) Biaya dari kapasitas yang tersedia, dan (2) Kapasitas pada prakteknya dari sumber daya yang tersedia, maka dapat dihitungbiaya per unit dari kapasitas yang tersedia sebagai berikut:
Biaya per unit      =      Kapasitas pada Prakteknya dari Sumber Daya yang Tersedia
Biaya dari Kapasitas yang Tersedia
Sebagai contoh, Diketahui data dari PT X: Jumlah biaya dari tenaga kerja tidak langsung yang tersedia sebesar $ 84,000 (sudah termasuk bonus). Jumlah biaya dari kapasitas komputer yang tersedia sebesar $ 30,000. Tenaga kerja tidak langsung ada 5 orang, di mana masing-masing menyediakan 500 jam kerja untuk setiap kwartal, atau totalnya sebanyak 2500 jam kerja. Kapasitas tenaga kerja tidak langsung pada prakteknya sebanyak 2000 jam kerja per kwartal. Kapasitas komputer pada prakteknya sebanyak 500 jam per kwartal. Berdasarkan data tersebut, maka biaya per unit (per jam kerja) dari kapasitas tenaga kerja tidak langsung yang tersedia adalah sebagai berikut:
Biaya Tenaga Kerja tidak Langsung per jam = $ 84,00/2000jam = $ 42 per jam
Sedangkan biaya per unit (per jam) dari kapasitas komputer yangtersedia adalah sebagai berikut:
Biaya Komputer per jam = $ 30,000/500 jam = $ 60 per jam

Estimasi Unit Waktu

Bagian kedua dari informasi baru yang diperlukan pada pendekatan Time-Driven ABC adalah estimasi waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu transaksi. Prosedur Time-Driven ABC menggunakan estimasi waktu yang diperlukan setiap saat transaksi terjadi. Estimasi unit waktu ini menggantikan proses interview pekerja untuk mempelajari berapa persen waktu pekerja yang dihabiskan untuk semua aktifitas.


TIME-DRIVEN ABC VERSUS TRADITIONAL ABC

Pada tabel ditunjukkan perbandingan implementasi Time-Driven ABCdengan Traditional

ABC sebagai berikut:

PERBANDINGAN IMPLEMENTASI TIME-DRIVEN ABC

DENGAN TRADITIONAL ABC

Implementasi Time-Driven ABC:
·         Mengidentifikasi departemen sumber daya yang bermacam-macam.
·         Mengestimasi total biaya dari setiap
            departemen sumber daya.
·         Mengestimasi kapasitas pada prakteknya untuk setiap departemen sumber daya.
·         Menghitung biaya per unit dari setiap
            kapasitas sumber daya.
·         Menentukan estimasi unit waktu untuk setiap transaksi.
·         Membebankan biaya ke produk.
Implementasi Traditional ABC:
·         Mengindentifikasi aktifitas dan pool biaya aktifitas.
·         Membebankan biaya ke aktifitas-aktifitas.
·         Menentukan activity driver.
·         Menentukan tarif activity driver.
·         Membebankan biaya ke produk.


Pada tabel tersebut dapat terlihat bahwa Traditional ABC merupakan model biaya “push”. Implementasinya dimulai dengan menetapkan total biaya overhead terlebih dahulu, menghitung biaya per unit dari aktifitas, dan pada akhirnya menghasilkan alokasi biaya kepada produk. Sebaliknya, Time-DrivenABC merupakan model biaya “pull”. Implementasi dari Time-Driven ABC dimulai dengan melakukan estimasi dua parameter, dan pada akhirnya menghasilkan alokasi biaya kepada produk. Dapat disimpulkan bahwa Traditional ABC (Push Model) menghitung biaya aktifitas yang actual dan membebankannya ke produk. Sedangkan Time-Driven ABC menghitung biaya aktifitas pada tarif standar dan menghilangkan biaya kapasitas yang tidak digunakan. Pada pertengahan tahun 1980an, Traditional ABC hadir menggantikan Traditional Costing yang sudah tidak relevan lagi untuk digunakan oleh perusahaan-perusahaan.

Adapun kelebihan Traditional ABC dibandingkan dengan Traditional Costing adalah sebagai berikut: (1) Menyediakan alternative metode penghitungan dan analisis biaya yang lebih baik daripada TraditionalCosting, (2) Memberikan informasi yang efektif untuk pengambilan keputusan, dan (3) Memberikan informasi yang berkelanjutan dalam penerapan proses dan penurunan biaya.
Tetapi pada prakteknya, Traditional ABC memiliki banyak kekurangan (keterbatasan) yang menyebabkannya sulit untuk diterapkan di banyak perusahaan. Dan kemudian, Time-Driven ABC hadir untuk memberikan alternatif yang lebih baik, lebih akurat, dan lebih sederhana untuk diterapkan di perusahaan-perusahaan. Robert S. Kaplan dan Steven R. Anderson, menyatakan bahwa Time-Driven ABC akan memberikan perbaikan yang sangat hebat atas sistem yang lama (Traditional ABC).

Kelebihan Model Time-Driven ABC

Kelebihan dari model Time-Driven ABC dibandingkan dengan Traditional ABC adalah sebagai berikut:

1.      Sangat mudah dan cepat diimplementasikan.

2.      Tidak mahal dan mudah diupdate.

3.      Mudah divalidasi dengan pengamatan langsung terhadap model estimasi dari unit waktu.

4.      Mampu diterapkan pada perusahaan dengan skala besar.

5.      Mudah menggabungkan fitur spesifik untuk pesanan, supplier, dan pelanggan khusus.

6.      Lebih memandang kepada efisiensi proses dan pemanfaatan kapasitas.

Kekurangan Model Time- Driven ABC

Kekurangan dari model Time-Driven ABC dibandingkan Traditional ABC adalah kesalahan estimasi waktu yang dilakukan dalam menghitung waktu pada setiap sumber daya.

“KASUS John Deere Components Works”

Kasus John Deere Components Works
John Deere adalah pandai besi yang mengembangkan alat bajak baja pertama yang sukses secara komersial, didirikan pada tahun 1837 oleh John Deere. Selama tahun 1970, Deere menghabiskan lebih dari satu miliar dollar untuk melakukan modernisasi pabrik, perluasan usaha dan perkakas. Selama tiga dekade, Deere mengembangkan lini produknya, membangun pabrik baru dan menjalankan usaha sesuai dengan kapasitas pabrik, namun tetap tidak mampu untuk memenuhi permintaan. Kemudian  Deere melakukan diversifikasi terhadap peralatan industri lainnya seperti konstruksi, utility, dan pertambangan. Kemudian pada tahun 1962 Deere mulai membangun gedung dan traktor perkebunan dan peralatan lainnya untuk mengembangkan usahanya.
Pada pertengahan tahun 1980 Deere telah menjadi perusahaan yang terbesar di dunia yang bergerak dalam bidang perkebunan dan peralatan. Tetapi  pada tahun tersebut komoditas pertanian mengalami penurunan sehingga Deere mengambil beberapa kebijakan yaitu menurunkan level operasinya, memotong biaya yang memungkinkan, meningkatkan tekanan untuk mendorong pengambilan keputusan, dan melakukan restrukturisasi. Untuk meningkatkan volume produksi, Deere ingin agar produksi komponennya memasok untuk perusahaan dan industri lain.
Selama beberapa tahun, komponen traktor dibuat dan dirakit di pabrik traktor, Waterloo. Untuk menghasilkan produk lain, pada tahun 1970 Deere berhasil memisahkan komponen produksi traktor menjadi mesin dan perakitan. Untuk perakitan traktor dan mesin dipindahkan ke pabrik baru di area Waterloo. Pada akhir tahun ke 10, gedung lama untuk produksi traktor digunakan untuk memproduksi komponen traktor yang dinamakan John Deere Component Works (JDCW). JDCW memiliki 3 divisi, yaitu divisi hydraulics, drive trains division, dan gear dan divisi produk spesial. JDCW didesain untuk menjadi bagian dari produsen peralatan yang diproduksi Deere, terutama traktor.
Selama tahun 1970, kegiatan operasi dan peralatan JDCW telah dirancang untuk membantu divisi traktor sebesar 150 unit per hari. Pada pertengahan tahun 1980, JDCW memproduksi suku cadang kurang dari kebutuhan. Aktivitas volume yang rendah merupakan efek yang sangat merugikan mesin dan bisnis karena mesin tersebut lebih efisien untuk produksi bervolume tinggi.
Hampir seluruh penjualan JDCW merupakan penjualan internal. Pabrik peralatan diminta untuk membeli secara internal komponen-komponen utama, misalnya transmisi desain lanjutan dan roda yang akan memberikan keuntungan kompetitif pada Deere. Kebijakan perusahaan menyatakan bahwa transfer pricing antara divisi ditentukan pada nilai full cost. Perusahaan juga memiliki kebijakan make-buy, pada saat terjadi kelebihan kapasitas, divisi yang akan melakukan pembelian harus menggunakan direct cost dan bukan full cost sebagai acuan untuk dibandingkan dengan tawaran harga pasar.
Dalam perhitungan dengan standard costing, JDCW menjumlahkan unsur-unsur biaya yang terdiri dari:
§  Direct Labor (run time only)
§  Direct Material
§  Overhead (direct + period) applied on direct labor
§  Overhead (direct + period) applied on material dollars
§  Overhead (direct + period) applied on ACTS (Actual Cycle Time Standards) machine hours
Setiap satu tahun sekali, departemen akuntansi JDCW menetapkan kembali tarif overhead berdasarkan dua studi, studi normal dan studi proses. Dalam studi normal, menentukan nilai standar dari direct labor dan machine hours dan total overhead untuk tahun berikutnya dengan menetapkan “volume normal”. Studi proses meruntuhkan overhead yang diproyeksikan pada volume normal di antara 100-plus proses JDCW seperti lukisan, lembaran logam, menggiling, turning machines, dan heat treating.
Selama beberapa tahun JDCW menggunakan tenaga kerja langsung sebagai tarif untuk mengalokasikan overhead. Namun pada tahun 1960, perusahaan menerapkan pemisahan overhead berdasarkan material. Tarif tersebut termasuk biaya pembelian, penerimaan, pemeriksaan,dan bahan mentah. Biaya-biaya tersebut dialokasikan ke persentase markup disamping biaya material. Dari waktu ke waktu tarif terpisah ini sudah ditetapkan untuk baja, castings, dan pembelian untuk merefleksikan perbedaan permintaan.
Perhitungan menggunakan tenaga kerja langsung dan material overhead ini dibagi atas biaya langsung (biaya variabel), seperti biaya setup, scrap, materials handling, bervariasi tergantung volume aktivitas produksi dan periode (biaya tetap), seperti pajak, biaya depresiasi, listrik, gaji tidak dipengaruhi oleh aktivitas produksi. Pada tahun 1984, JDCW memperkenalkan machine hours sebagai basis alokasi overhead seperti basis tenaga kerja dan material. Dengan peningkatan penggunaan mesin, maka basis tenaga kerja langsung tidak lagi digunakan sebagai basis overhead, karena tidak lagi merefleksikan performa kerjanya. Jam kerja digunakan untuk proses dimana waktu kerja setara machine hours, jika terdapat perbedaan maka jam atas ACTS digunakan untuk mengalokasikan biaya overhead.
Analaisis Permasalahan
Sejarah mencatat kehancuran agribisnis yang dimulai dengan turunnya nilai tanah pertanian dan harga komoditas yang menurun tajam yang mengakibatkan Deere untuk mengatur tingkat pelaksanaan operasi semakin ke menurun, pemotongan biaya, menekankan pembuat keputusan dilakukan secara desentralisasi, dan rekstrukturisasi pada proses manufaktur. Deere juga melakukan pengurangan tempat produksi, mengurangi karyawan, mendorong agar karyawan pensiun dini, dan tidak melakukan penggantian untuk karyawan yang keluar dari perusahaan.
Sejumlah kegagalan terjadi terus-menerus dalam kompetisi JDCW untuk melakukan penawaran. Mereka memberikan kontrak, dan semua pekerjaan dijual ke supplier luar. JDCW hanya mendapatkan segilintir barang yang diminta yang kebanyakan merupakan low-volume stuff yang tidak diinginkan. JDCW berfikir bahwa mungkin mereka akan mendapatkan bisnis yang mana direct cost-nya lebih murah dibandingkan dengan penawaran luar walaupun sebenarnya full cost-nya tidak. Penyebab penawarannya tidak kompetitif adalah karena harganya lebih mahal dibandingkan supplier luar, dan lebih mahal dibandingkan dengan divisi-divisi lain di Deere Company. Karena hal tersebut JDCW mempertanyakan ketepatan metode pembiayaan yang dipakai saat ini, yang menyebabkan JDCW tidak dapat bersaing dengan kompetitor-kompetitornya.
JDCW mempunyai 3 divisi yaitu The Hidraulics Division, The Drive Trains Division, dan Gear and Special Product Division. Sebagai bagian dari sebuah perusahaan terintegrasi secara vertikal, JDCW mendapatkan part dari Deere’s Equipment Division, karena dapat memproduksi berbagai macam part dalam jumlah yang banyak, walaupun produksi traktor relatif rendah. Rendahnya produksi traktor memberikan kerugian pada mesin karena mesin lebih efisien beroperasi pada jumlah yang besar.
Kebijakan perusahaan, melakukan transfer antar divisi berdasarkan full cost (direct material+direct labour+direct iverhead +period overhead). Perusahaan juga punya kebijakan make-buy policy ketika kapasitas mencukupi, yaitu divisi pembeli bisa membandingkan yang mana yang lebih rendah antara direct cost (bukan full cost) dibandingkan dengan penawaran dari luar.
Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi dibandingkan perusahaan secara keseluruhan. Dalam prakteknya equipment division tidak mengikuti kebijakan perusahaan, sehingga JDCW kehilangan porsi untuk equipment factory karena perusahaan pesaing.
Pada awalnya JDCW menggunakan standar costing untuk perhitungan biayanya, alokasi overhead berdasarkan pada direct labor hours, machine hours, dan material. Pada kenyataannya metode biaya ini bekerja cukup baik di masa lalu karena perusahaan memproduksi produk yang spesifik dalam secara konsisten. Namun, metode biaya ini tidak memberikan sistem alokasi biaya yang terbaik bagi JDCW.
Keith William menyadari kekurangan dari penggunaan standard costing tersebut dan beralih menggunakan Activity-Based Costing, yang mencerminkan nilai cost per unit yang tepat untuk tiap produk. Namun, perbedaan nilai cost penggunaan standard costing dan Activity-Based Costing bervariasi, ada beberapa produk yang mengalami penurunan cost dan ada yang justru cost-nya menjadi lebih besar. Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang terjadi di perusahaan yaitu:
1.    Penggunaan Standard Costing System yang tidak sesuai dengan perusahaan yang besar dan memproduksi barang yang sangat bervariasi dan tidak mencerminkan actual cost per unit.
2.    Perusahaan menyadari adanya kesalahan dalam menentukan biaya dengan penggunaan Standard Costing dan beralih menggunakan Activity Based-Costing, namun hasil yang diperoleh sangat bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih besar.
3.    Penggunaan mesin yang tidak efisien karena volume produksi yang rendah
4.    Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi

Pemecahan Masalah

            Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka berikut adalah analisis pemecahan masalah menurut kelompok kami, yaitu :

a. Berdasarkan analaisis permasalahan yang terjadi di JDCW maka sebaiknya saat menentukan biaya overhead atas produk sebaiknya perusahaan melakukan 2 tahap yang terdapat dalam ABC yaitu :
1.  mengidentifikasi aktivitas-aktivitas proses produksi yang signifikan dari setiap produk. Dimana JDCW memiliki  dua cost driver (direct labor dan machine hour).
2. menentukan biaya per unit produk berdasarkan ketujuh cost driver untuk menghasilkan satu unit produk.
b.  Dalam memberikan harga JDCW kalah saing dengan suplier luar dikarenakan harga yang ditawarkan lebih mahal, sehingga dengan harga yang tidak kompetitif ini, keinginan divisi gear and special products untuk menjual suku cadangnya tidak dapat dilaksanakan. Harga per unit yang tidak kompetitif ini sebagian besar disebabkan karena JDCW menggunakan standard cost accounting system dalam mengalokasikan overheadnya. Tarif overhead didasarkan pada basis direct labor, material dollars, dan actual cycle time standard (ACTS).
c.  Seharusnya dalam menentukan cost produksi perusahaan menentukan terlebih dahulu berapa orang operator yang untuk menjalankan setiap mesin dan bagi jam kerja (orang dan mesin).
d.  Biaya pembelian, pemeriksaan, dll yang dialokasikan dalam markup disamping biaya material, seharusnya dialokasikan sebagai komponen penambah harga beli bahan baku, bukan di mark up. Karena hal tersebut akan membuat  harga jual satuanya menjadi lebih mahal, sehingga tidak dapat memasuki pasar.
e.   Tarif listrik seharusnya dihitung berdasarkan kapasitas mesin x tarif / jamnya
f.   Dalam melakukan pengurangan tenaga kerja seharusnya tarif cost yang digunakan juga menyesuaikan mengikuti jumlah karyawan yang baru.
g.   Biaya mark up seharusnya ditiadakan, dan harga di material seharusnya hanya mencakup biaya penerimaan bahan, harga perolehan bahan dan pajak yang dibayarkan saat membeli bahan tersbut. Sehingga akan mendapatkan harga jual yang sesuai.

Komentar

Postingan Populer