Strategi Bersaing Di Pasar Internasional
Ujian Akhir Semester
Artikel : Strategi Bersaing Di Pasar Internasional
Disusun Untuk
Memenuhi UAS Matakuliah Manajemen Strategi dan Kepemimpinan
Disusun Oleh :
I
Putu Eka Adiputra (1707612002)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
UDAYANA
2018
REVIEW ARTIKEL 1:
STRATEGI
PENINGKATAN DAYA SAING TUNA OLAHAN INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Wiji Lestari, Rizal Syarief dan
Komar Sumantadinata (2013)
LATAR BELAKANG
Volume ekspor tuna Indonesia periode tahun
2006-2009 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2010 volume ekspor tuna
Indonesia mengalami penurunan 7%. Hampir 60% ekspor ikan tuna Indonesia dalam
bentuk ikan segar dan beku. Negara tujuan ekspor tuna segar adalah Jepang yang
mencapai hampir 80% dari total ekspor tuna segar, kemudian disusul Amerika
Serikat, Belanda dan Yemen. Negara pesaing Indonesia untuk produk tuna segar
adalah Kroasia, Malta, Tunisia, Turki, Australia, Spanyol, Jepang USA dan
Equador (www.uncomtrade, 2011).
Pasar Jepang lebih memilih fresh tuna karena cocok untuk digunakan sebagai bahan baku
pembuatan Sashimi yang digemari oleh konsumen Jepang. Sementara itu, konsumen
tuna di Amerika Serikat lebih suka makan sandwich
sehingga pasar tuna Amerika lebih banyak mengimpor tuna frozen.
Nilai ekspor ikan tuna tersebut masih dapat
ditingkatkan dengan jalan meningkatkan daya saing produk tuna Indonesia,
khususnya tuna olahan. Untuk meningkatkan daya saing tuna olahan Indonesia di
pasar dunia, maka perlu political will pemerintah
untuk mendukung industrialisasi tuna,
sehingga daya saing tuna dapat ditingkatkan.
Mengingat permasalahan di atas, maka perlu
dilakukan penelitian untuk menjawab bagaimana daya saing tuna olahan Indonesia
di pasar dunia dan bagaimana strategi pengembangan industri tuna Indonesia
untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah ekspor tuna olahan. Guna
memberikan gambaran bagaimana daya saing tuna olahan Indonesia di pasar
internasional dibandingkan dengan negara-negara pesaing Indonesia dan bagaimana
strategi peningkatan daya saing tuna Indonesia, maka dilakukan penelitian.
TUJUAN
PENELITIAN :
1. Mengetahui daya saing produk ikan tuna olahan
dibandingkan dengan ikan tuna segar dan beku di pasar internasional dan
dibandingkan dengan negara-negara pesaing.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi daya saing industri pengolahan ikan tuna.
3. Merumuskan prioritas strategi pengembangan
industri tuna Indonesia untuk meningkatkan daya saing tuna olahan di pasar
Internasional.
METODE
PENELITIAN
Daya saing di antara negara-negara eksportir
dapat dihitung dengan menggunakan Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
·
Pengukuran Keunggulan Daya Saing
Daya saing
produk suatu negara di pasar internasional dapat diukur dari beberapa macam
cara. Salah satu cara tersebut adalah dengan melihat indeks RCA. Indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya
saing ekspor suatu komoditas dari suatu negara dengan membandingkan nilai
ekspor komoditas suatu negara terhadap nilai ekspor komoditas tersebut dari
seluruh dunia. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempegaruhi daya
saing dilakukan dengan Analisis Profil Kompetitif.
·
Revealed
Comparative Advantage (RCA)
Indeks RCA
dihitung berdasarkan rumus total ekspor ikan tuna kode Harmonized System (HS) tertentu suatu negara pada tahun ke-t
dibandingkan dengan total ekspor seluruh komoditas perikanan negara tersebut
pada tahun yang sama, lalu langkah terakhir membandingkan nilai tersebut dengan
nilai total ekspor ikan tuna kode HS tertentu di dunia yang dibandingkan dengan
total ekspor perikanan dunia pada tahun tersebut.
Pada tahun
2006-2010 tuna segar memiliki keunggulan komparatif sangat baik dengan indeks
RCA 4,56-8,18. Namun demikian, bila dibandingan dengan negara pesaing seperti
Kroasia, Malta, Tunisia dan Turki, daya saing produk ikan tuna segar Indonesia
masih lebih rendah dan Indonesia hanya mampu menduduki posisi kelima.
Seperti halnya Kroasia, pada tahun 2006-2010,
ikan tuna segar Malta, Tunisia dan Turki memiliki keunggulan komparatif yang
sangat baik dengan indeks RCA berturut-turut 40,79-115,35 (Malta), 19,96-48,08
(Tunisia) dan 13,05-38,79 (Turki). Jenis tuna dari ketiga negara tersebut yang
memiliki keunggulan komparatif sangat tinggi adalah jenis ikan tuna bermata
besar (030235). Akan tetapi jika dilihat dari pangsa pasar ikan tuna segar di
pasar internasional, Indonesia menduduki peringkat I dengan pangsa pasar 16,86%
dari total ekspor dunia. Sementara itu, Malta, Spanyol, Kroasia dan Turki
menduduki posisi ke 2, 3, 4, dan 5 dengan pangsa pasar berturut-turut 15,28%,
9,60%, 6,52% dan 6,25%.
Pada tahun 2005-2010, nilai indeks RCA untuk
tuna beku Indonesia 0,49-1,43, sehingga untuk produk tuna beku Indonesia belum
mempunyai keungulan komparatif dibandingkan negara pengekspor lainnya, kecuali
untuk tahun 2009. Pada tahun 2009, indeks RCA untuk tuna beku Indonesia
mengalami peningkatan menjadi 1,43. Indonesia hanya menduduki peringkat ke-9
untuk indeks RCA di antara negara pengekspor. Pada tahun 2010, nilai ekspor
tuna beku Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan Australia dan
Kolumbia, yaitu mencapai 86.478 US$ atau 3,11% dari total nilai ekspor produk
perikanan Indonesia sebesar 2.778.800 US$ (www.uncomtrade, 2011). Rendahnya
daya saing tuna beku Indonesia juga dapat dilihat dari rendahnya penguasaan
pangsa pasar di pasar internasional. Indonesia hanya menduduki posisi ke-8
dengan pangsa pasar 5,21% dari total ekspor ikan tuna beku dunia.
Kolombia
dan Philipina, memiliki daya saing cukup baik dengan indeks RCA pada tahun 2006-2010
masing-masing 8,83-21,14 dan 2,68-5,88. Namun demikian, untuk pangsa pasar
kedua negara tersebut hanya menduduki peringkat 7 dan 10 dengan pangsa pasar
masing-masing 5,80% dan 3,78% dari total ekspor ikan tuna beku dunia, karena
ekspor tuna beku Kolombia dan Philipina memberikan kontribusi besar terhadap
total ekspor produk perikanan di kedua negara tersebut. Pada tahun 2010, ekspor
tuna beku Kolumbia 62.657 US$, atau 34,77% dari total nilai ekspor produk perikanan
negara tersebut (180.193 US$). Sedangkan, nilai ekspor tuna beku Philipina
96.221 US$, atau 13,87% dari nilai total ekspor produk perikanan negara 693.602
US$ (www.uncomtrade, 2011).
Pada tahun
2006-2010, nilai indeks RCA ikan tuna beku untuk negara Spanyol 2,02-4,11, atau
berada diurutan ke 4 di antara negara-negara pengekspor tuna beku. Namun
demikian, Spanyol merupakan negara pengekspor ikan tuna beku nomor satu di
dunia dengan pangsa pasar 14,18%. Nilai RCA yang lebih rendah dibandingkan
dengan Kolombia, Rep. Korea dan Philiphina disebabkan nilai total ekspor produk
perikanan Spanyol cukup besar. Nilai ekspor produk tuna beku Spanyol pada tahun
2010 sebesar 235.193 US$, atau 7,05 % dari nilai total ekspor produk perikanan
3.337.172 US$. Ekspor ikan tuna beku Republik Korea menduduki peringkat ke 2
dilihat dari indeks RCA, maupun dari pangsa pasarnya. Pada tahun 2010, pangsa
pasar ikan tuna beku Korea mencapai 20,47% dari total ekspor dunia.
Indeks RCA untuk tuna olahan Indonesia dari
tahun 2006-2010 berkisar 1,25-2,68, sehingga dapat dikatakan bahwa ikan tuna
olahan Indonesia memiliki daya saing cukup baik. Namun demikian, bila
dibandingkan dengan negara-negara pesaing, keunggulan komparatif tuna olahan
Indonesia masih jauh lebih rendah, karena menduduki peringkat ke 7 dilihat dari
indeks RCA tuna olahan. Dari sisi penguasaan pasar dan dilihat dari besarnya
nilai ekspor tuna olahan, Indonesia menduduki peringkat ke 6 dengan pangsa
pasar 4,63%. Meskipun Mauritius memiliki indeks RCA paling tinggi dibanding
negara pengekspor lainnya, namun dari sisi penguasaan pasar menduduki posisi ke
4. Nilai RCA yang tinggi disebabkan total nilai ekspor produk perikanan
Mauritius sangat kecil, atau ekspor produk perikanan Mauritius sebagian berasal
dari tuna olahan. Nilai ekspor tuna olahan Mauritius 203 ribu US$, atau 74,76%
dari total ekspor perikanan Mauritius 334 ribu US$.
Seperti halnya Mauritus, indeks RCA untuk tuna
olahan El Salvador berkisar 16,28-26,07, sehingga dapat dikatakan bahwa tuna
olahan El Salvador memiliki keunggulan komparatif sangat tinggi. Namun
demikian, dari sisi penguasaan pasar El Salvador hanya mampu menduduki posisi
ke 10 dengan pangsa pasar 1,62. Tingginya indeks RCA tuna olahan El Salvador
disebabkan oleh rendahnya total nilai ekspor perikanan negara tersebut, atau
tuna olahan merupakan komoditas yang mempunyai sumbangan besar terhadap nilai
ekspor perikanan El Salvador, atau 81,47% dari total ekspor produk perikanan El
Salvador.
Indeks RCA tuna olahan Thailand lebih kecil dari
Mauritius dan El Savador, namun dalam hal penguasaan pasar, Thailand merupakan
negara pengekspor tuna olahan terkuat di dunia. Thailand mampu menguasai pasar
dunia dengan pangsa 46,75%. Strategi Thailand untuk menjadi penguasa nomor satu
di dunia sangat bagus dan Thailand dengan prinsipnya sebagai kitchen of the world. Pangsa pasar terbesar kedua setelah Thailand adalah Spanyol dengan pangsa pasar 10,01%, kemudian
diikuti oleh Equador, Mauritius dan Philiphina dengan pangsa pasar masing
masing 8,03%, 6,04% dan 5,75%.
Rendahnya indeks RCA tuna olahan Indonesia
dibandingkan dengan negara pengekspor ikan tuna olahan yang disebabkan oleh
rendahnya nilai ekspor tuna olahan. Rendahnya nilai RCA Indonesia disebabkan
sebagian tuna tersebut diekspor dalam bentuk segar dan beku. Jaminan bahan baku
terhadap industri pengolahan tuna, juga merupakan salah satu kendala ekspor
tuna olahan. Berdasarkan penghitungan RCA tuna segar, tuna beku dan tuna
olahan, ternyata daya saing tuna segar Indonesia masih lebih tinggi
dibandingkan dengan tuna beku dan tuna olahan. Hal ini disebabkan oleh besarnya
nilai ekspor tuna segar dibandingkan dengan tuna beku dan olahan. Hal tersebut
berarti Indonesia masih lebih banyak mengekspor tuna segar.
Untuk produk tuna beku, meskipun masih memiliki
indeks RCA lebih dari satu, artinya Indonesia mempunyai daya komparatif yang
cukup baik, namun dibanding negara-negara pesaing keunggulan komparatif tuna
beku Indonesia masih jauh berada di bawah. Ketersediaan dan keterjaminan bahan
baku untuk pengolahan tuna juga menjadi salah satu kendala dalam peningkatan
ekspor ikan tuna olahan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing tuna
olahan Indonesia, perlu dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang
memengaruhi daya saing tuna olahan di pasar internasional dan dibandingkan
dengan negara-negara pesaing.
·
Analisis Profil Kompetitif
Analisis
ini digunakan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi daya saing ikan tuna
Indonesia di pasar internasional. Berbeda dengan analisis RCA yang menganalisis
daya saing berdasarkan nilai ekspor, maka analisis profil kompetitif
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing. Analisis profil
kompetitif dilakukan terhadap ikan tuna olahan dan menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi daya saing negara Indonesia dan negara-negara pesaing
Indonesia.
·
Faktor Produksi dan Pemasaran
a. Sumber Daya Ikan Tuna,
b. Mutu Ikan Tuna Olahan Yang Dihasilkan,
c. Persyaratan Impor Di Negara-Negara Tujuan Ekspor,
d. Harga Ikan Tuna Segar Dan Harga Bahan Baku
Pendukung,
e. Harga Ikan Tuna Olahan Di
Negara-Negara Tujuan Ekspor,
f. Hambatan Tarif Dan Non Tarif,
g. Organisasi Perdagangan Dunia, Regional Dan
Bilateral,
h. Penyebaran Informasi Prosedur Ekspor Dan
Persyaratan Impor Yang Berlaku Di Negara-Negara Tujuan Ekspor,
i. Pengembangan Market Intellegence Dan Promosi.
·
Faktor Manusia Dan Kelembagaan
a. Tingkat Upah Minimum Yang Diberlakukan,
b. Ketersediaan SDM Yang Mampu Dalam Penanganan
Mutu,
c. Kemampuan Manajerial,
d. Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Industri Olahan
Tuna,
e. Peran Pemerintah Dalam Regulasi Pengaturan
Ekspor Dan Persyaratan Impor,
f. Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan Dan
Penanganan Illegal Fishing,
g. Peran Pemerintah Dalam Pembinaan Mutu Olahan
Tuna,
h. Peran Pemerintah Terhadap Peningkatan Akses
Terhadap Lembaga Keuangan Dan Asuransi.
·
Alternatif Strategi Peningkatan Daya Saing Ikan
Tuna Olahan Indonesia
RCA
Berdasarkan kedua analisis tersebut, dapat dirumuskan alternatif-alternatif
strategi dalam meningkatkan daya saing industri tuna olahan Indonesia.
Strategi-strategi dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Matriks Prioritas Strategi Peningkatan
Daya Saing Ikan Tuna Olahan Indonesia
Sebagai
bahan pangan, produk agro-industri diharuskan mempunyai persyaratan standar
cukup ketat. Persyaratan standard tersebut bukan hanya terhadap mutu produknya,
sehingga ada beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu (1) mutu produk, (2)
keamanan pangan, dan (3) ketertelusuran (traceability).
Untuk itu peningkatan standar produk agro-industri pangan olahan sangat penting
sebagai faktor penguat daya saing produk (Panjaitan, Syamsun dan Kadarisman., 2011).
·
Faktor Produksi dan Pemasaran
a. Meningkatkan mutu tuna olahan Indonesia.
b. Mendorong mengatasi hambatan tarif dan non
tarif.
c.
Meningkatkan
pengembangan market intelle-gence dan
Promosi.
·
Faktor Manusia dan Kelembagaan
a.
Meningkatkan
Peran Pemerintah dalam pengembangan industri olahan tuna.
b.
Peningkatan
kapasitas SDM yang mampu dalam penanganan mutu.
c.
Pemberantasan
dan pengawasan illegal fishing.
KESIMPULAN
Tuna olahan Indonesia mempunyai daya saing lebih
tinggi bila dibandingkan dengan tuna beku, namun lebih rendah bila dibandingkan
dengan tuna segar. Namun demikian, bila dibandingkan dengan negara pesaing,
tuna olahan Indonesia mempunyai daya saing lebih rendah dan hanya mampu
menduduki posisi ke-7.
Faktor produksi dan pemasaran yang sangat
berpengaruh terhadap daya saing ikan tuna olahan adalah: (1) Mutu ikan tuna
olahan yang dihasilkan, (2) Hambatan tarif dan non tarif dan (3) Pengembangan market intellegence dan Promosi. Faktor
manusia dan kelembagaan yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan daya
saing adalah (1) Peran Pemerintah dalam pengembangan Industri olahan tuna, (2)
Ketersediaan SDM yang mampu dalam penanganan mutu, 3) Peran Pemerintah dalam
penanggulangan dan penanganan illegal
fishing.
Prioritas strategi untuk meningkatkan daya saing
tuna olahan Indonesia terkait faktor produksi dan pemasaran adalah (1)
Meningkatkan mutu tuna olahan Indonesia, (2) Mendorong mengatasi hambatan tarif
dan non tarif; (3) Meningkatkan pengembangan market intellegence dan Promosi. Prioritas strategi terkait faktor
manusia dan kelembagaan adalah (1) Meningkatkan Peran Pemerintah dalam
pengembangan Industri olahan tuna, (2) Meningkatan kapasitas SDM yang mampu
dalam penanganan mutu serta (3) Pemberantasan dan pengawasan illegal fishing.
CRITICAL REVIEW –
ARTIKEL 1
Berikut
merupakan beberapa kritik yang penulis dapat sampaikan terkait dengan Artikel 1
yang berjudul “STRATEGI
PENINGKATAN DAYA SAING TUNA OLAHAN INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL”:
1.
Pada bagian latar belakang, penulis
telah menyampaikan dengan baik penelitian terkait dengan Strategi Peningkatan
Daya Saing Tuna Olahan Indonesia di Pasar Internasional, yang dimana penulis
menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing tuna olahan Indonesia maka perlu
dilakukannya political will pemerintah untuk mendukung industrialisasi tuna, sehingga daya saing tuna dapat ditingkatkan.
Namun dalam penelitian ini, peneliti tidak mencantumkan secara jelas terkait
dengan hasil penelitian terdahulu yang dapat menjadi dasar pemilihan variabel dalam
penelitian yang dilakukan dan juga peneliti sebaiknya mencantumkan dengan tabel
pertumbuhan ekspor tuna Indonesia dari tahun ke tahun, agar dapat dilihat
secara rinci pertumbuhan ekspor tuna Indonesia setiap tahunnya.
2.
Pada bagian Kajian Teori, dalam hal ini
peneliti tidak menyampaiakan grand theory
yang digunakan untuk menjadi dasar penelitian ini. Penting halnya di setiap
penelitian mencantumkan grand theory yang
digunakan, guna mendukung penelitian yang akan diteliti.
3.
Pada bagian Hasil dan Pembahasan, dalam
hal ini peneliti sudah menjelaskan dengan jelas mengenai alat ukur yang
digunakan untuk mengukur daya
saing produk suatu negara di pasar internasional yaitu dengan melihat indeks RCA dan juga dengan menggunakan
Analisis Profil Kompetitif untuk mengetahui faktor-faktor yang mempegaruhi daya saing. Akan tetapi
disamping itu, peneliti juga belum mampu memberikan
justifikasi lebih rinci dan peneliti hanya menggunakan perbandingan data serta
peneliti tidak mencantumkan pembahasan terkait dengan hasil pengujian.
4.
Pada bagian Saran, dalam hal ini peneliti
tidak ada mencantumkan saran yang dapat memberikan perbaikan atas objek yang
diteliti. Karena penting halnya dalam penelitian ini dicantumkan saran agar
dapat memberikan arahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan
penelitian ini ataupun pengguna hasil penelitian ini.
5.
REVIEW
ARTIKEL 2:
ANALISIS
KINERJA DAN DAYA SAING PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN PRODUK KAKAO OLAHAN INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL
Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus
Wahyudi
(2012)
LATAR BELAKANG
Kakao adalah salah satu komoditas ekspor dari
subsektor perkebunan yang merupakan komoditas unggulan nasional yang memberikan
sumbangan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet (Goenadi et al., 2007). Pada tahun 1990, luas
areal kakao Indonesia hanya sebesar 357.490 ha dengan produksi 142.347 ton.
Jumlah ini meningkat tajam 10 tahun kemudian dengan luas areal menjadi 749.917
ha dengan produksi 421.142 ton. Kemudian pada tahun 2010 meningkat lagi lebih 2
kali lipat menjadi 1.651.539 ha dengan produksi 844.626 ton. Hal ini menandakan
bahwa usahatani kakao semakin menarik untuk diusahakan.
Ditinjau dari perdagangan internasional,
Indonesia juga menempati peringkat ketiga dengan pangsa 14,6% dari total 2,96
juta ton ekspor biji kakao dunia pada tahun 2010, sedangkan peringkat pertama
dan kedua tetap ditempati oleh Pantai Gading dan Nigeria dengan pangsa
masing-masing sebesar 26,7% dan 18,6% (Intracen, 2011). Dengan demikian, peran
Indonesia dalam struktur pasar kakao dunia sangat penting.
Prospek pasar kakao dunia juga terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. ICCO (2010) mencatat bahwa dalam
periode tahun 2000-2009, terjadi peningkatan sebesar 17%. Peningkatan konsumsi
tertinggi terjadi di kawasan Asia dan Afrika dengan peningkatan masing-masing
38 dan 72%. Konsumsi kakao perkapita juga mengalami peningkatan. Pada periode
tahun 2000/2001, konsumsi perkapita dunia adalah sebesar 0,55 kg, kemudian meningkat
menjadi 0,59 kg per kapita pada periode 2008/2009. Bahkan, pada periode tahun
2007/2008, konsumsi perkapita dunia sempat mencapai 0,61 kg. Sementara itu,
walaupun tergolong sangat rendah, konsumsi perkapita kakao penduduk Indonesia
juga menunjukkan peningkatan. Jika pada periode 2000/2001 konsumsi perkapita
hanya sebesar 0,043 kg, pada periode 2008/2009 meningkat menjadi 0,067 atau
terjadi peningkatan sebesar 55,8% dengan tingkat pertumbuhan 5,84% per tahun.
Adanya tren peningkatan ekspor kakao Indonesia
serta masih tingginya potensi pasar yang ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi
mengharuskan Indonesia sebagai salah satu produsen utama kakao untuk mampu
meraih peluang pasar yang ada. Perubahan lingkungan internasional terutama
dalam sistem perdagangan dengan liberalisasi ekonomi menyebabkan persaingan
termasuk pasar kakao menjadi lebih berat. Untuk itu, agar ekspor kakao
Indonesia baik dalam bentuk biji maupun olahan harus memiliki daya saing dalam
bentuk keunggulan komparatif dan kompetitif agar tetap mampu bersaing bahkan
menjadi pemimpin di pasar internasional.
TUJUAN
PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kinerja dan daya saing perdagangan biji kakao dan produk-produk kakao olahan
Indonesia di pasar internasional.
METODE
PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder. Data diperoleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan,
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Badan Pusat
Statistik, Kementerian Perdagangan, International
Trade Centre (ITC), International
Cocoa Organization (ICCO) dan lain-lain.
ANALISIS
DATA
Analisis daya saing dilakukan dengan
menggunakan pendekatan matematis terhadap ukuran daya saing komoditas di pasar
internasional. Ukuran-ukuran daya saing yang digunakan yaitu :
a. Revealed
Comparative Advantage (RCA)
b. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
c. Export
Product Dynamics (EPD)
d. Constant
Market Share Analysis (CMSA)
HASIL PEMBAHASAN
·
Kinerja Perdagangan Biji Kakao dan Produk
Olahan Kakao Indonesia
Kakao
merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia, baik dalam bentuk biji maupun
produk olahan, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemasok utama di
pasar internasional. Pada tahun 2010, Indonesia merupakan eksportir ketiga
terbesar biji kakao setelah Pantai Gading dan Nigeria dengan pangsa pasar
sekitar 15%. Sementara itu, untuk produk olahan berupa kakao pasta, Indonesia
menempati peringkat ke-7 dengan pangsa pasar 3%. Untuk produk olahan lainnya
seperti kakao butter dan kakao bubuk, posisi Indonesia berada pada peringkat 5
dan 6, dengan pangsa pasar masing-masing 6% dan 5%. Rendahnya pangsa pasar
produk-produk kakao olahan Indonesia menunjukkan bahwa industri hilir kakao
belum berkembang dengan baik.
·
Neraca
perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan
Neraca perdagangan kakao Indonesia
menunjukkan bahwa ekspor dan impor biji kakao maupun produk kakao olahan
mengalami peningkatan pada periode 1999-2010. Ekspor kakao olahan dalam bentuk intermediate product seperti kakao
pasta, kakao butter dan kakao bubuk
(kode HS 5 digit: 18031, 18032, 18040, 18050) juga mengalami peningkatan,
kecuali untuk kakao bubuk yang mengandung bahan tambahan (kode HS 18061). Hal
tersebut menunjukkan bahwa kakao sebagai produk ekspor andalan Indonesia terus
menunjukkan peningkatan.
·
Posisi
perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan
Posisi perdagangan kakao Indonesia diukur
dengan menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) sehingga dapat dilihat
tahap perkembangan atau tingkat pertumbuhan produk kakao dalam perdagangan.
Nilai ISP untuk perdagangan biji kakao sudah mencapai pada tahap kematangan
pada periode 1999-2011. Walaupun sempat mencapai tahap kematangan pada tahun
1999 dan 2000, sejak tahun 2002, produk ini turun ke tahap pengenalan. Hal ini
terjadi karena terjadi penurunan ekspor kakao bubuk dengan tambahan yang sangat
tajam, diikuti peningkatan impor yang sangat signifikan. Secara umum, jika
dilihat dari nilai ISP, produk kakao Indonesia memiliki daya saing karena
memiliki kecenderungan sebagai negara pengekspor, khususnya untuk produk biji
kakao, kakao pasta berlemak, kakao pasta tanpa lemak, kakao butter dan kakao
bubuk tanpa tambahan. Sedangkan untuk produk kakao bubuk dengan tambahan,
Indonesia belum memiliki daya saing.
·
Analisis Daya Saing Perdagangan Biji Kakao
dan Produk Kakao Olahan Indonesia
1.
Analisis
Revealed Comparative Advantage (RCA)
Keunggulan
komparatif perdagangan kakao Indonesia baik dalam bentuk biji maupun produk
olahan diukur dengan revealed comparative
advantage (RCA). Ukuran RCA didasarkan pada konsep keunggulan komparatif
Ricardian (Moenius, 2006). RCA mengukur pangsa ekspor suatu negara dalam
kelompok industri yang sama dengan negara eksportir lainnya, sehingga banyak
digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (Serin and Civan, 2008). Dalam
analisis ini, akan dibandingkan nilai RCA biji kakao dan produk kakao olahan
Indonesia dengan negara produsen utama lainnya di pasar dunia. Semakin tinggi
nilai RCA, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang lebih
tinggi. Sedangkan jika nilai RCA lebih kecil dari 1, maka negara tersebut tidak
memiliki keunggulan komparatif.
2. Analisis
Export Product Dynamics (EPD)
Metode EPD merupakan salah satu pendekatan
yang digunakan untuk menganalisis daya saing produk kakao melalui identifikasi
produk-produk yang kompetitif dan dinamis dalam ekspor produk kakao Indonesia. Produk
kakao yang dianalisis yaitu biji kakao (HS 1801), kakao pasta (HS 1803), kakao
butter (HS 1804) dan kakao bubuk tanpa tambahan (HS 1805) berada dalam kuadran
I (Rising Star). Hal ini menandakan
bahwa keempat produk tersebut memiliki daya saing yang tinggi dan dinamika
perdagangan positif. Sedangkan kakao bubuk dengan tambahan dan kelompok makanan
yang mengandung coklat (HS 1806) masuk pada kuadran II (Lost Opportunity ) dimana terjadi kehilangan pangsa pasar produk di
pasar dunia.
3. Constant
Market Share Analysis (CMSA)
Constant market share
analysis (CMSA) merupakan metode yang dapat digunakan untuk menganalisis daya
saing sebuah produk atau beberapa produk pada beberapa pasar tujuan ekspor
(Rifin, 2010). Untuk analisis CMSA produk kakao, digunakan hasil perhitungan
dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dalam perhitungannya, Kemendag (2011)
menggunakan dekomposisi CMSA menjadi 3 kriteria yaitu competitiveness effect,
initial specialization dan
adaptation. Hasil perhitungan Kemendag terhadap beberapa produk kakao yaitu kode HS 180100, 180310, 180320,
180400, 180500 dan 180610. Sedangkan tujuan pasar ekspor yang dianalisis adalah
ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa dan China, yang merupakan pasar utama produk
kakao Indonesia.
Hasil analisis CMSA untuk biji kakao (kode HS
180100) menunjukkan bahwa ekspor biji kakao Indonesia tidak memiliki daya
saing, baik untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa dan China. Hal ini
berarti untuk dapat meningkatkan daya saing ekspor biji kakao, Indonesia harus
meningkatkan kualitas produk melalui proses fermentasi dan penanganan pasca
panen lainnya agar biji kakao tidak mengandung jamur, serangga dan kotoran
lainnya.
Secara
umum, produk biji kakao Indonesia belum memiliki daya saing akibat rendahnya
kualitas yang dimiliki serta belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
permintaan pasar. Jadi, untuk meningkatkan daya saing ekspor, diperlukan upaya
untuk meningkatkan kualitas biji sesuai dengan kondisi permintaan pasar dunia,
khususnya negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama biji kakao Indonesia.
KESIMPULAN
Kinerja perdagangan produk kakao Indonesia
mengalami surplus, terutama biji kakao dan intermediate
product (kakao pasta, bubuk dan butter). Surplus perdagangan juga mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir yang
menunjukkan kinerja perdagangan kakao Indonesia terus meningkat. Produk kakao
Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif sebagai eksportir biji kakao dan
kakao olahan di pasar internasional. Sedangkan dari analisis EPD dan CMSA,
terdapat sedikit perbedaan dimana dengan analisis EPD hampir semua produk kakao
memiliki daya saing, sedangkan analisis CMSA menunjukkan produk-produk kakao
yang memiliki daya saing adalah produk-produk kakao olahan. Dengan demikian,
dalam upaya meningkatkan daya saing produk kakao baik dalam bentuk biji maupun
produk olahan, diperlukan upaya pengembangan industri hilir seperti kegiatan
fermentasi biji kakao (industri primer), pengembangan industri intermediate (kakao pasta, bubuk,
butter, dan lain-lain) serta produk akhir berupa makanan yang mengandung
cokelat.
CRITICAL REVIEW –
ARTIKEL 2
Berikut
merupakan beberapa kritik yang penulis dapat sampaikan terkait dengan Artikel 2
yang berjudul “ANALISIS
KINERJA DAN DAYA SAING PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN PRODUK KAKAO OLAHAN INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL” :
1.
Pada bagian Latar Belakang, penulis
sudah menjelaskan secara baik mengenai perkembangan kakao Indonesia di pasar
internasional yang didukung dengan data-data yang terpercaya. Namun pada bagian
ini masih terdapat kekurangan yaitu penulis belum mampu memaparkan secara jelas
apa yang menjadi dasar permasalahan sehingga pembaca merasa sulit memahami
masalah yang diangkat. Sebaiknya juga penulis menyajikan data-data yang ada,
disajikan dalam bentuk tabel agar memudahkan pembaca atau pengguna didalam
memahami isi penelitian ini.
2.
Pada bagian Rumusan Masalah, dalam hal
ini peneliti tidak mencantumkan rumusan masalah yang diangkat sebagai masalah
utama dalam penelitian ini. Karena penting halnya suatu penelitian mencantumkan
rumusan masalah agar dapat diketahui masalah utama yang terjadi dalam suatu
penelitian.
3.
Pada bagian Kajian Teori, dalam hal ini
peneliti tidak menyampaiakan grand theory
yang digunakan untuk menjadi dasar penelitian ini. Karena penting halnya di
setiap penelitian mencantumkan grand
theory yang digunakan, guna mendukung penelitian yang akan diteliti.
4.
Pada bagian Pembahasan, dalam hal ini
peneliti sudah memaparkan pembahasan yang sedemikian baik dengan menggunakan
data yang terpercaya seperti dari
KEMENDAG, kemudian pembahasan dari berbagai teknik analisis yang
digunakan seperti RCA, ISP, EPD, dan CMSA juga sudah dijelaskan dengan baik
terkait dengan data yang diperoleh sehingga memberikan hasil/output yang
terpercaya. Namun, kekurangan dalam bagian ini adalah peneliti belum mampu memberikan
justifikasi lebih rinci karena peneliti hanya menggunakan perbandingan data dan
pada penelitian ini tidak mencantumkan pembahasan terkait dengan hasil
pengujian.
5.
Pada bagian saran, peneliti tidak
mencantumkan saran yang dapat memberikan perbaikan atas objek yang diteliti.
Karena pemberian saran juga penting halnya disampaikan dalam penelitian ini, agar
dapat memberikan arahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan
penelitian ini ataupun pengguna hasil penelitian ini.
ALASAN
PEMILIHAN ARTIKEL TERKAIT
1.
Alasan saya memilih artikel yang
berjudul “Strategi Peningkatan Daya Saing Tuna Olahan Indonesia Di Pasar
Internasional” adalah karena saya ingin mengetahui bagaimana perkembangan
tingkat ekspor ikan tuna olahan Indonesia di pasar internasional, mengingat hal
tersebut dapat meningkatkan devisa negara Indonesia dan juga Indonesia merupakan
negara yang memiliki garis pantai terpanjang ke-2 yaitu 54.716 km (https://www.dw.com/id/10-negara-dengan-garis-pantai-terpanjang-di-dunia/g-18951508)
hal ini disebabkan karena banyaknya pulau di Indonesia menjadi penjelasan
panjangnya garis pantai Indonesia. Tuna Indonesia ternyata memiliki daya saing
yang baik di pasar internasional hal ini didukung dengan adanya pernyataan
dalam bagian latar belakang penelitian ini menjelaskan bahwa dari tahun 2006
hingga tahun 2009 nilai ekspor ikan tuna olahan Indonesia selalu mengalami
peningkatan.
2.
Alasan saya memilih artikel yang
berjudul “Analisis Kinerja Dan Daya Saing Perdagangan Biji Kakao Dan Produk
Kakao Olahan Indonesia Di Pasar Internasional” adalah karena saya ingin
mengetahui seberapa tinggi tingkat ekspor kakao olahan Indonesia dan seberapa
kuat daya saing kakao olahan Indonesia di pasar Internasional. Karena mengingat
Indonesia mendapatkan sumbangan devisa selain dari kelapa sawit dan karet,
ternyata kako juga merupakan penyumbang devisa ke-3 terbesar bagi Indonesia
setelah kelapa sawit dan juga karet ditambah dari tahun 1990 sampai dengan
tahun 2010 luas lahan pertanian kakao dan produksinya selalu mengalami
peningkatan. Maka dengan demikian
pentingnya ekspor kakao untuk ditingkatkan untuk membantu perekonomian
Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ini menyatakan bahwa kakao olahan
Indonesia memiliki tingkat ekspor dan daya saing yang baik sehingga kinerja
perdagangan produk kakao Indonesia mengalami surplus terutama biji kakao dan intermediate product (kakao pasta, bubuk
dan butter), hal ini dinyatakan pada bagian kesimpulan dalam penelitian ini.
Komentar
Posting Komentar