APA ITU PENGETAHUAN ?
APA ITU PENGETAHUAN?
- Analisis
Filosofis
Berikut
ini adalah awal dari percakapan seseorang yang sedang berbincang dengan
temannya.
Ayu : Menurutmu siapa penyanyi yang terbaik
Indonesia?
Agus
: Sudah jelas, pasti Agnes Monica.
Ayu :
Bagaimana bisa, ia baru merintis karir internasionalnya, sedangkan Anggun C.
Sasmi bahkan sudah berkarir di dunia Internasional sejak lama dan terbukti
sukses.
Agus
: penyanyi terbaik tidak selalu diukur
dengan lamanya karir internasionalnya
Ayu
: Lalu bagaimana saya bisa menentukan
siapa penyanyi terbaik Indonesia saat ini?
Agus : Tentunya dengan setiap penampilannya di
atas panggung
Ayu :
Tapi penampilan di atas panggung tidaklah cukup, iya juga harus memiliki
pribadi yang bagus juga sehingga bisa menjadi panutan penggemarnya.
Agus :
Iya, tapi menurutku penampilan itu adalah segala-galanya, lihatlah Agnes yang
selalu total dalam penampilannya.
Apa
yang mereka bicarakan diatas adalah salah satu contoh dari analisis filosofis.
Dalam menganalisis filosofis tersebut seseorang akan mencoba untuk menyusun
aturan-aturan apa yang menentukan sesuatu yang disepakati akan dianalisis.
- Definisi
Tripartit Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan terdiri dari keyakinan yang dibenarkan. Sebagai contoh, ada
sesorang yang bertanya “Apakah rendang adalah makanan asli Indonesia?”. Untuk
mengetahui bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia, yang perlu
dipertimbangkan adalah:
a. Memang
benar rendang adalah makanan asli Indonesia
b. Berkeyakinan
bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia
c. Memiliki
pembenaran atas bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia.
Atau
yang lebih umum, s tahu bahwa p, jika:
a. P
benar
b. Berkeyakinan
bahwa p
c. Memiliki
pembenaran atas keyakinan
bahwa p
Contoh
diatas tadi adalah analisis tripartit atau definisi pengetahuan. Tigak kondisi
tadi diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan selalu terdiri dari yang
dibenarkan, yang benar, dan keyakinan. Apabila kondisi tersebut sudah
terpenuhi, maka seseorang memiliki pengetahuan. Pengetahuan dibangun atas
kepercayaan, untuk mengetahui p tersebut, seseorang harus percaya bahwa p, dan
berkeyakinan akan p. Hal ini menekankan bahwa satu syarat dalam pengetahuan
adalah harus benar. Jika seseorang memikirkan sebuah kasus dengan keyakinan
yang dibenarkan tanpa didukung pengetahuan atau adanya pengetahuan tanpa
keyakinan yang dibenarkan, maka ini akan menunjukkan bahwa analisis tersebut
tidak sempurna.
- Pembenaran
dan Keyakinan yang Diperlukan untuk Pengetahuan
Pada
bagian ini akan mempertanyakan asumsi bahwa keyakinan dan kebenaran diperlukan
untuk pengetahuan. Sebagai contoh, terdapat seseorang yang sedang memancing
ikan di sebuah kolam, ia percaya bahwa ia dapat menemukan ikan di salah satu
sudut pada kolam tersebut. Ia tidak dapat memberikan alasan mengapa ia
berkeyakinan bahwa ada ikan disana, ia hanya berkeyakinan bahwa ikan tersebut
seolah-olah ada. Akhirnya orang tersebut meminta bantuan kepada temannya yang
ahli memancing untuk memancing di sudut kolam itu, dan ternyata benar, terdapat
ikan di sudut kolam tersebut. Hal ini menyimpulkan bahwa keyakinan yang benar
sudah cukup untuk pengetahuan, sedangkan pembenaran tidak selalu diperlukan.
Adalagi
sebuah contoh tentang seorang nenek yang menunjukkan pada cucunya tentang
tanaman-tanaman yang ada di halaman rumahnya. Cucu tersebut hanya mendengarkan
perkataan nenek tersebut tanpa bermaksud untuk tahu lebih banyak. Suatu ketika
saat ada tayangan kuis di televisi yang menanyakan tentang nama-nama tanaman,
cucu tersebut mencoba menjawab pertanyaan sebisanya dengan berteriak di depan
tv tanpa berkeyakinan jawabannya benar. Ternyata jawabannya benar, bahwa secara
konsisten selalu benar. Cucu tersebut berpikir bahwa ia hanya menjadi orang
beruntung yang menjawab pertanyaan di televisi karena semua jawabannya benar.
Namun, dalam kasus ini tampaknya masuk akal apabila mengklaim bahwa cucu
tersebut memiliki pengetahuan, pengetahuan yang didapat dari neneknya, sehingga
dapat menjadi pengetahuan dengan pembenaran tanpa keyakinan.
- Mendapatkan
Kasus
Serangan
paling yang paling berpengaruh pada analisis tripartite dapat dilihat dalam
makalah Edmund Gettier, yaitu “Keyakinan yang Benar Dibenarkan dalam
Pengetahuan?” (1963). Ia menyarankan suatu skenario dimana pemikir telah yang
memiliki keyakinan benar dapat dibenarkan meskipun pemikir tersebut tidak
memiliki pengetahuan. Skenario Gettier merupakan lawan dari analisis tripartit.
Gettier tidak mempertanyakan apakah pembenaran, kebenaran, dan keyaknan
diperlukan untuk pengetahuan. Ia mengklaim bahwa ketiga kondisi tersebut dapat
dipenuhi tanpa seorang pemikir memiliki pengetahuan. Contohnya adalah sebuah
pertandingan sepakbola antara Inggris vs Jerman yang disiarkan di salah satu
bar di pinggir jalan. Begitu mendengar sorak sorai dari dalam, seseorang
percaya bahwa bahwa Inggris baru saja mencetak gol, dan skornya menjadi 1-0.
Orang tersebut menganggap bahwa keyakinannya benar dan itu juga dibenarkan
dengan suara gemuruh sorak sorai dari dalam sehingga lebih meyakinkan bahwa
Inggris mencetak gol. Namun, setelah ditelusuri, ternyata sorak sorai yang
didengar oleh orang tersebut berasal dari depan bar dimana tidak ada televisi
yang menayangkan pertandingan tersebut, tetapi ternyata disana sedang
berlangsung sebuah kompetisi karaoke. Ini hanyalah kebetulan saat penyanyi
tersebut mengakhiri penampilannya dengan disambut sorak sorai penonton dan
disaat yang sama dengan Inggris mencetak gol. Disimpulkan bahwa keyakinan
seseorang tersebut benar dengan beruntung walaupun tidak memiliki pengetahuan.
Contoh ini menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan oleh sebuah kesalahan, dan
dengan ini maka definisi tripartit gagal untuk menjelaskan kondisi yang cukup
untuk pengetahuan.
Terdapat
empat jenis respon terhadap Gettier, diantaranya adalah:
a. Pada
bagian selanjutnya, kita akan melihat klaim bahwa ada sesuatu yang salah dengan
dugaan pembenaran dalam skenario Gettier, atau yang lebih tepatnya apa yang
dimiliki dalam kasus tersebut tidak sama dengan pembenaran. Gagasan yang kaya
akan kebenaran harus dicukupi agar kita dapat memiliki pengetahuan, dan pemikir
dalam kasus Gettier tidak memiliki pembenaran yang mencukupi.
b. Dalam
bagian 6, kita akan mengklaim bahwa keyakinan dan pembenaran harus dijelaskan
dalam pengetahuan.
c. Pada
bagian 7, akan berpendapat bahwa hal yang diungkapkan Gettier tidak tepat untuk
mendefinisikan pengetahuan.
d. Pada
bagian 8, kita akan membahas tentang respon eksternal dari Gettier.
5.
Pemikiran
Yang Kaya Pembenaran
5.1.
Kebenaran
Mutlak (Infalibilitas)
Dapat dipastikan bahwa untuk mendapatkan
pengetahuan, kita harus memiliki alasan konklusif atau alasan yang pasti dan
meyakinkan untuk mendukung kepercayaan kita, alasan bahwa kita tidak dapat
memiliki suatu kepercayaan adalah jika kepercayaan tersebut ternyata tidak
benar; alasan-alasan yang ada akan mengartikan bahwa kepercayaan kita adalah
infalibel (mutlak). Satu masalah mengenai nilai dari pembenaran adalah
kenyataan bahwa pengetahuan sekarang sangat sulit didapat. Tidak jelas apakah
ada kepercayaan empiris kita yang infalibel. Untuk memastikan bahwa sebuah
klaim lumrah bagi ilmu pengetahuan adalah benar, konsepsi modern tentang pengetahuan
adalah fallibilist. Kita harus berhati-hati, bagaimana kita menyebutkan posisi
ini, bagaimanapun juga klaim tersebut bukanlah menyebutkan bahwa kita dapat
mengetahui sesuatu yang salah, klaim fallibilist menerangkan bahwa kita dapat
memiliki pengetahuan tanpa alasan yang pasti. Jadi, kira dapat mengklaim
mengetahui sesuatu walaupun bukti yang kita miliki tidak menutup kemungkinan
bahwa kita mungkin salah.
Ilmu ilmiah menyediakan ilustrasi yang
bagus mengenai fallibilism. Kita mengetahui banyak kebenaran ilmiah meskipun
sejarah dan kemajuan ilmu pengetahuan telah mengajarkan kita bahwa beberapa
teori kita bisa salah, dan bahwa hal itu mungkin ternyata kita tidak memiliki
banyak pengetahuan ilmiah seperti yang kita pikir kita lakukan. Jika
teori-teori ilmiah adalah benar maka teori-teori tersebut terhitung merupakan
pengetahuan meskipun alasan kita untuk menerima mereka tidaklah konklusif. Kita
memiliki konsepsi fallibilist tentang pengetahuan empiris, namun ada area
tertentu pada pengetahuan di mana infalibilitas lebih masuk akal, salah satunya
adalah pengetahuan a priori. Alasan konklusif yang dianjurkan untuk skenario
Gettier: jika alasan tersebut diperlukan untuk pembenaran, maka kasus Gettier
bukan tandingan untuk analisis tradisional karena pemikir yang dibahas tidak
memiliki kepercayaan yang dibenarkan.
5.2.
Tidak
Ada Kepercayaan Yang Salah
Kita telah mengatakan bahwa adanya pembenaran
atau justifikasi memiliki bukti yang cukup atau alasan yang baik untuk berpikir
bahwa kepercayaan kita adalah benar. Kepercayaan yang salah tidak dapat
memberikan bukti ataupun dukungan rasional. Kita tidak memiliki pembenaran bagi
kepercayaan yang benar jika alasan kita melibatkan kepercayaan yang merupakan
kepercayaan yang salah. Larangan terhadap kepercayaan yang salah tidak dapat
digunakan untuk menolak tandingan tersebut untuk teori tradisional karena ini
adalah kasus kepercayaan yang benar dibenarkan tanpa sepengetahuan yang tidak
terkait kepercayaan yang salah.
Kasus Gettier bukan tandingan untuk
analisis tradisional karena pemikir yang dibahas tidak memiliki kepercayaan
yang dibenarkan dalam arti yang lebih ketat sesuai yang disarankan, dan oleh
karena itu intuisi kita benar bahwa kasus ini tidak melibatkan pengetahuan. Pengetahuan
masih dianggap kepercayaan yang benar dibenarkan, meskipun ada pendapat yang
menyatakan bahwa kita harus memperhatikan lebih ketat terhadap istilah
‘dibenarkan’. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan respon yang
berfokus pada infalibilitas dan kepercayaan yang salah, dan cara lain untuk
menjabarkan dan melengkapi analisis tradisional telah disarankan.
6.
Pengetahuan
Sebagai Dasar
Menurut teori tradisional, pengetahuan
diperoleh ketika kepercayaan Anda adalah benar, dan ketika kondisi pembenaran
juga memuaskan. Pengetahuan dibentuk oleh komponen epistemis lebih mendasar
yaitu kepercayaan, kebenaran, dan justifikasi. Timothy Williamson berpendapat
bahwa pendekatan semacam itu didorong oleh dua asumsi. Pertama, diasumsikan
bahwa konsep pengetahuan mampu dianalisa menjadi konsep konstituen sederhana.
Kedua, diasumsikan bahwa ketika seseorang memiliki pengetahuan, ia berada dalam
kondisi hybrid state, yang sebagian
dibentuk oleh kondisi pikirannya dan sebagian lagi oleh dunia. Memiliki
kepercayaan dan justifikasi dapat berujung pada munculnya kondisi mental
tertentu, tapi kenyataannya merupakan gagasan yang independen dari keadaan
psikologi yang mengetahuinya. Kedua asumsi ini saling terkait di mana analisis
dapat dilanjutkan (asumsi pertama) untuk menguraikan jenis komponen mental yang
diperlukan selain untuk komponen non mental tentang kebenaran (asumsi kedua).
Strategi Williamson adalah untuk mempertanyakan kedua asumsi tersebut. Jika
keduanya didapatkan tidak mendasar, maka pendekatan yang seluruhnya berbeda
dapat digunakan, yang tidak didorong oleh kebutuhan untuk menganalisis
pengetahuan dalam hal kepercayaan, kebenaran dan justifikasi.
Dalam kasus pengetahuan, sejarah
epistemologi bukan pertanda yang baik bagi kesuksesan suatu analisis yang dicoba.
Filsuf telah mencoba untuk memunculkan definisi pengetahuan sejak zaman Plato, hingga
belakangan ini meskipun empat puluh tahun dilakukan penelitian intensif, tidak
ada konsensus telah dicapai pada bagaimana kita harus menanggapi suatu kasus
mengenai pengetahuan. Williamson mengambil kurangnya keberhasilan tersebut sebagai
indikasi dari wrong-headedness (keras
kepala menantang dari apa yang benar atau wajar; keras kepala menyimpang dalam
penilaian atau pendapat) dari teori tradisional.
Williamson berpendapat bahwa pengetahuan
tidak terdiri dalam kepemilikan seperti kondisi hybrid, motivasi untuk analisis karenanya hilang. Pengetahuan
adalah kondisi sepenuhnya mental. Ini adalah teori bahwa sifat kondisi mental
tertentu tidak sepenuhnya ditentukan oleh apa yang ada di dalam kepala pemikir,
isi dari keadaan mental ini sebagian ditentukan oleh apa yang ada di dunia ini.
Dalam teori tradisional, kebenaran diperlukan untuk pengetahuan, tetapi
dipandang sebagai komponen non-mental hybrid
state untuk mengetahui sesuatu. Bagi Williamson, pengetahuan itu sendiri
terdiri dalam kepemilikan kondisi yang sepenuhnya mental, suatu keadaan yang
Anda hanya dapat jika pikiran Anda merepresentasikan dunia dengan tepat.
Williamson juga memberikan teori dari
justifikasi. Kepercayaan dibenarkan jika kita memiliki bukti yang bagus untuk
itu, dan hal itu adalah hanya untuk pengetahuan yang dapat memainkan peran
bukti yang diperlukan. Urutan penjelasan di sini adalah kebalikan dari yang
diberikan oleh teori tradisional, di mana pengetahuan didefinisikan dari segi
keyakinan dibenarkan. Pengetahuan tidak harus dilihat sebagai hybrid state yang terdiri dari komponen
mental kepercayaan yang dibenarkan, dan komponen
non-mental dari kebenaran. Pengetahuan itu sendiri terdiri atas kepemilikan
tipe kondisi mental yang berbeda, kondisi mental yang merupakan epistemis
dasar. Para juri, bagaimana pun juga, keluar dari pendekatan Williamson yang
baru dan berbeda untuk epistemology, dan untuk saat ini, sebagian besar
epistemologi kontemporer tetap menganut teori tradisional.
7.
Family
Resemblance
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa
kita seharusnya tidak berasumsi bahwa berbagai instantiasi dari konsep punya
kesamaan. Selanjutnya Wittgenstein berpendapat bahwa hal-hal yang dapat
dianggap terhubung oleh salah satu fitur umum yang penting mungkin sebenarnya
dihubungkan oleh serangkaian kesamaan yang tumpang tindih, di mana tidak ada
satu fitur yang umum untuk semua. Contoh yang diberikan oleh Wittgenstein
adalah konsep Game.
Wittgenstein menjelaskan tentang tata
permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan
oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya
bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu
merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh
menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya
menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan
permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan baik petunjuk permainan
yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan)
sebelum menggerakkan setiap biji catur. Jika kita melihat penerapan peraturan
ini di atas papan catur, maka tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau
tujuan suatu aturan permainan…”
Permainan catur baru akan menemukan
maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa
mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan
segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya. Istilah “tata aturan”, memiliki
arti seperangkat aturan yang melingkari sebuah permainan, termasuk dalam
bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian
lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini
diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk
mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan
permainannya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainan bahasa
(language game).
Atas dasar teori tata permainan bahasa
ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang
memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang
diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof
tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan
kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya. Wittgenstein
menguraikan masalah ini sebagai berikut:
- Pertama,
pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang
tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
- Kedua,
kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum
berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu
kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang
dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan
pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan
dalam kemajemukan.
- Ketiga,
kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang
terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini
semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak
terkurung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah
ungkapan yang sia-sia belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang
adanya kata-kata yang sepintas tampak memiliki makna umum dalam penggunaan
konteks yang berbeda-beda. Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat
pengertian umum dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang
berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family
resemblance), yaitu bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu
terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku. Meskipun
memiliki dasar kemiripan yang dekat, ia tidak benar-benar sama, karenanya tidak
bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi hanya sekadar memiliki
kemiripan-kemiripan yang dekat.
Contohnya, kata “aku” dan “engkau”,
memiliki makna umum yang melekat pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan
(engkau) dalam konteks penggunaannya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kata
tersebut benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai
adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan
permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori
tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika digunakan dalam
keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keakraban antara penutur dan
lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi formal, spserti terhadap
atasan ataupun orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan kesan tidak etis,
tidak pas, serta tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada kata-kata
yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan tata
aturan permainannya. Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family
resemblance itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya
“serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan
permainannya.
Bila kita menerima pendapat Wittgenstein
ini, kemudian kita dapat mengklaim bahwa pengetahuan merupakan konsep family resemblance. Jika demikian, maka
kita tidak diwajibkan untuk mencari definisi pengetahuan, seperti yang
disarankan oleh Williamson. Dan jika teori dari konsep pengetahuan diterima,
masih ada pekerjaan untuk epistemologist yang harus dilakukan, yaitu: berusaha
untuk memetakan pola "ciri-ciri keluarga (family traits)" dan menggambarkan bagaimana berbagai sifat
epistemik yang dimiliki oleh pemikir "tumpang tindih dan silang-menyilang
(overlap and criss-cross)". Terdapat
catatan bahwa kita memiliki pengetahuan know-how
(how to knowledge), pengetahuan
dengan kenalan (acquaintance knowledge),
dan pengetahuan factual (propositional
knowledge), dan kami tidak berpikir itu perlu untuk menemukan ciri utama
bahwa mereka semua berbagi. Bab ini fokus pada yang terakhir dan kita harus
karenanya ‘mencari dan melihat apakah ada sesuatu yang umum untuk semua’ kasus
pengetahuan faktual. Jika tidak ada, maka analisis filosofis pengetahuan harus
ditinggalkan.
Terdapat contoh paradigma tertentu mengenai
pengetahuan, kasus yang memiliki fitur yang kita semua akan setuju pentingnya
epistemologis. Pengetahuan tersebut memiliki tiga sifat penting, yaitu melibatkan
(1) kepercayan yang benar, (2) pembenaran, dan (3) kepastian. Analisis
tradisional masih diperjuangkan dan diasumsikan bahwa sebagian besar gambaran
tradisional benar, yakni pengetahuan dengan kepercayan yang benar dibenarkan.
Bahkan jika ini akhirnya keliru, pembenaran akan tetap menjadi gagasan
epistemologis penting dalam dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Khamid,
Abdul. 2012. Ludwig Wittgenstein. http://abdulkhamid12.wordpress.com/bahasa-indonesia/materi/ludwig-wittgenstein/.
Tanggal Akses: 6 Maret 2014.
O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom: Polity
Press.
Komentar
Posting Komentar