pengertian dumping
DUMPING
Pengertian
dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk
diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau
negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di
pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan
tujuan untukmemperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan
menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan
eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut
dinegerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya,
praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan
produsen pesaing dinegara pengimport. Menurut
Robert
Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir,kekuaran pasar dan
struktur pasar import, antara lain : Market Expansion Dumping,Cyclical Dumping,
State Trading Dumping, Strategic Dumping, Predatory Dumping.
Praktek
dumping merupakan praktek dagang yang tidak Fair,
karena bagi Negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi
dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir
barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang
dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada
akhirnya akanmematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang mengakibatkan
seperti munculnya dampak pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan
bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.
Praktek
anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan
internasional agar terciptanya fair trade.Mengenai hal ini telah
diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement
on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang diikat (binding
tariff) danpemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO
merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.
Studi Kasus : “Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan
oleh Indonesia :Pada Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan”
Indonesia sebagai negara
yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah
mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertasyang diekspor ke Korea
Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan
petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada KoreanTrade
Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan
dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp &
Mills,PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Produk
kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk,
tergolong dalam kelompok
uncoated paper and paper
board used for writing, printing, or other graphic purpose
serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.
Indonesia untuk pertama
kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau
Dispute Settlement Mechanism
(DSM) sebagai pihak penggugat utama
(main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturanperdagangan
yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain.Indonesia mengajukankeberatan atas
pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk
Korea-Certain Paper Products.
Indonesia berhasil
memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan
kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsipmultilateralisme sistem perdagangan
WTO terutama prinsip transparansi. Investigasi anti-dumping juga harus
dihentikan jika fakta dilapangan membuktikan bahwa marjin dumping dianggap
tidak signifikan (dibawah 2% dari harga ekspor) .Dan jika volume impor dari
suatu produk dumping sangat kecil volume impor kurang dari 3% dari jumlah
ekspor negara tersebut ke negara pengimpor, tapiinvestigasi juga akan tetap
berlaku jika produk dumping impor dari beberapa Negara pengekspor secara
bersamaan diperhitungkan berjumlah 7% atau lebih.
TBT Agreement’ secara umum
mengatur agar penyusunan peraturan-peraturan/regulasi teknis, standar pengujian
dan sertifikasi, dan ketentuan-ketentuanlainnya tidak akan menimbulkan hambatan
teknis perdagangan. Peraturan/regulasiteknis dalam hal ini adalah
peraturan/regulasi teknis yang berdampak pada praktek perdagangan internasional
yang terkait dengan ‘MSTQ’(Measurement Standard Testing Quality). Sebagai
contoh adalah penetapanperaturan/regulasi teknis oleh Depperindag yang
mewajibkan pemberlakuan SNI(Standar Nasional Indonesia) secara wajib untuk
peralatan-peralatan elektronik yangdiperdagangkan di Indonesia. Hal ini
berimplikasi bahwa produk-produk elektronik yangdipasarkan di Indonesia, baik
produksi lokal maupun diimpor ke Indonesia, harusmemenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan dalam SNI tersebut.‘
TBT Agreement
’ mengatur pula ketentuan
bahwa 60 hari sebelumditandatangani, peraturan/regulasi teknis tersebut harus
dinotifikasikan kepada WTOuntuk memberi kesempatan kepada negara anggota WTO
lainnya untuk memberitanggapan atas hal-hal yang diatur dalam
regulasi/peraturan teknis tersebut. Untukkeperluan tersebut, Badan
Standardisasi Nasional (BSN) berperan sebagai
Notification body untuk
penyampaian notifikasi dan penerimaan tanggapan atas notifikasi peraturan/regulasi
teknis di Indonesia. Dalam implementasi kegiatannya, BSNmengadakan koordinasi
dan kerjasama langsung dengan Departemen/Instansi teknisterkait, dimana di
setiap Departemen/Instansi teknis terdapat organisasi yang berperan sebagai
entry point dengan BSN. Untuk lingkup Departemen Kehutanan, organisasi yang
memiliki peranan tersebut adalah Pusat Standardisasi dan Lingkungan.
Technical
Barriers to Trade(TBT) adalah tindakan atau kebijakan suatu negarayang bersifat
teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional, dimana penerapannya
dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. TBT
merupakan salah satu bagian perjanjian dalam General Agreementon Tariff and
Trade (GATT) yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan
peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan
prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure).Perjanjian
TBT mengakui hak setiap negara untuk mengadopsi standar yang dianggap memadai.
Dalam TBT hak penggunaan hambatan teknis yang dibenarkan adalah untuk:
i.Melindungi
kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, tumbuhan
ii.Perlindungan
kelestarian lingkungan
iii.Kepentingan
keamanan nasional
iv.Pencegahan
praktek perdagangan tidak sehat dari mitra dagang
v.Kepentingan
konsumen lainnya.
Sebagai
upaya untuk mencegah terlalu banyaknya ragam standar, Perjanjian TBTmendorong
negara anggota untuk menggunakan standar-standar internasional dimana dianggap
perlu. Lebih lanjut, negara anggota tidak dicegah dari mengambil tindakan yang
diperlukan untuk menjamin standar nasionalnya dipenuhi. TBT telah menjadi
hambatan non-tarif untuk perdagangan yang penting. TBT muncul ketika kebijakan
domestik memaksakan regulasi, standar teknis, pengujian dan prosedur
sertifikasi, atau persyaratan pelabelan berpengaruh pada kemampuan eksportir
untuk mengakses pasar.Walau sering digunakan secara bersamaan, TBT memiliki
pengertian yang berbeda antara technical regulation dan standard atas dasar
kategori kepatuhan. Secara baku berdasarkan TBT Agreement pengertian mengenai technical
regulation, standard, danconformity assessment procedure
adalah sebagai berikut:
•Peraturan Teknis
(technical regulation) adalah: Dokumen yang mengatur sifat produk atau proses
dan metoda produksi terkait, termasuk aturan administrasi yang berlaku dimana
pemenuhannya bersifat wajib. Regulasi teknis dapat juga meliputi atau berkaitan
secara khusus dengan persyaratan terminologi, simbol, pengepakan, penandaan
atau pelabelan yang diterapkan untuk suatu produk,proses atau metoda produksi
Komentar
Posting Komentar