TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERETIKA

I.          Teori Etika
Etika adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normative  tentang apakah perilaku ini benar atau apa yang seharusnya dilakukan, dimana etika berkaitan dengan prinsip-prinsip yang memandu perilaku manusia. Etika mengajarkan tentang norma-norma dan nilai-nilai yang berkaitan dengan salah dan benar, baik dan buruk, seperti yang harus kita lakukan dan tindakan apa yang harus kita hindari. Dilema etika muncul ketika norma-norma dan nilai-nilai mengalami konflik dan terdapat tindakan alternatif yang dapat dilakukan.Dilema etika tidak mempunyai standar objektif, oleh karena itu, digunakan kode etik yang bersifat subjektif.

Etika Dan Kode Etik
Encyclopedia of Philosophy mendefinisikan etika dalam tiga cara:
1.      Pola umum atau “cara hidup”
2.      Seperangkat aturan perilaku atau “kode etik”, dan
3.      Penyelidikan tentang cara hidup dan aturan perilaku.
Moralitas dan kode etik didefinisikan dalam Encyclopedia of Philosophy sebagai istilah yang mengandung empat karakteristik:
1.      Keyakinan tentang sifat manusia;
2.      Keyakinan tentang cita-cita, tentang apa yang baik atau diinginkan atau kelayakan untuk mengejar kepentingan diri sendiri;
3.      Aturan yang menjelaskan apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan, dan
4.      Motif yang cenderung membuat kita memilih jalan yang benar atau salah.
Masing-masing dari keempat aspek tersebut akan dibahas menggunakan empat teori etika utama yang diterapkan oleh orang-orang dalam pengambilan keputusan etis dalam lingkungan bisnis: utilitarianisme, deontologi, kesetaraan dan keadilan kewajaran serta etika kebajikan.

1.      Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme.Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest).Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri.

2.      Utilitarianisme
Teleologi memiliki sejarah panjang di antara filsafat empiris Inggris. John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873) semua melihat etika dari perspektif teleology. Teleology memiliki artikulasi yang jelas dalam utilitarianisme, yang paling nyata adakah dalam tulisan-tulisan Bentham dan J.S Mill. Dalam utilitariasm, mill menulis ”kredo yang diterima seperti landasan moral, utilitas, atau prinsip kebahagiaan terbesar , menyatakan bahwa tindakan merupakan hal yang benar sesuai proporsinya jika cenderung untuk meningkatkan kebahagiaan, salah jika tindakan tersebut cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan. Kebahagiaan diharapkan mendatangkan kesenangan dan ketiadaan rasa sakit; ketidakbahagiaan akan menimbulkan rasa sakit dan kesengsaraan”.
Utilitarianisme mendefinisikan kebaikan dan kejahatan dalam hal konsekuensi non-etika dari kesenangan dan rasa sakit. Tindakan yang benar secara etika adalah salah satu yang akan menghasilkan jumlah kesenangan terbesar atau jumlah rasa sakit terkecil. Jika menggunakan utilitarianisme, pembuat keputusan harus mengambil perspektif yang luas tentang siapa pun, dalam masyarakat, yang mungkin akan terpengaruh oleh keputusan itu. Kegagalan dalam pengambilan keputusan akan sangat mahal bagi perusahaan. Aspek kunci utilitarianisme adalah, pertama, etikalitas dinilai berdasarkan konsekuensi non-etika.Keputusan etis harus berorientasi pada peningkatan kebahagiaan dan/atau mengurangi rasa sakit, di mana kebahagiaan dan rasa sakit dapat bersifat fisik atau psikologis.Kebahagiaan dan rasa sakit berhubungan dengan seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk kebahagiaan atau rasa sakit pribadi pembuat keputusan.Akhirnya, para pengambil keputusan etis harus tidak memihak dan tidak member beban ekstra terhadap perasaan pribadi ketika menghitung keseluruhan kemungkinan bersih konsekuensi dari sebuah perusahaan.
·         Undang-undang dan Peraturan Utilitarianisme
Utilitarianisme telah berkembang di sepanjang dua jalur utama, yaitu undang-undang utilitarianisme dan peraturan utilitarianisme. Jalur pertama, kadang-kadang disebut sebagai “konsekuensialisme”, menganggap sebuah tindakan baik atau benar secara etika jika tindakan tersebut mungkin menghasilkan keseimbangan kebaikan yang lebih besar atas kejahatan. Suatu tindakan dianggap buruk atau salah secara etika jika tindakan tersebut mungkin menghasilkan hal yang sebaliknya. Peraturan utilitarianisme, di sisi lain, mengatakan bahwa kita harus mengikuti aturan yang mungkin akan menghasilkan keseimbangan kebaikan yang lebih besar atas kejahatan dan menghindari aturan yang mungkin akan menghasilkan sebaliknya. Peraturan utilitarianisme mengakui bahwa pengambilan keputusan oleh manusia sering dipandu oleh aturan-aturan. Jadi, prinsip penuntun untuk aturan utilitarianisme adalah: mengikuti atauran yang cenderung menghasilkan jumlah terbesar kesenangan terhadap rasa sakit untuk sejumlah besar orang yang mungkin akan terpengaruh oleh tindakan. Mengatakan kebenaran biasanya menghasilkan kesenangan terbesar bagi kebanyakan orang hampir disepanjang waktu.
·         Sasaran dan Tujuan Akhir
Prinsip ini mempromosikan jumlah terbesar kebahagiaan untuk sejumlah besar orang-tidak berarti bahwa akhirnya membenarkan sarana.Hal yang terakhir adalah teori politik bukan merupakan prinsip etika.Hal yang lebih penting, tujuan menghalalkan cara sering menyiratkan bahwa hanya ada satu cara untuk mencapai tujuan akhir atau bahwa jika ada berbagai cara untuk mencapai akhir, maka semua sarana yang ada setara secara etika.
·         Kelemahan dalam Utilitarianisme
Utilitarianisme mengandaikan bahwa hal-hal seperti kebahagiaan, utilitas, kesenangan, sakit dan penderitaan bisa diukur. Masalah lain menyangkut distribusi dan intensitas dari kebahagiaan. Prinsip utilitarian adalah untuk menghasilkan sebanyak mungkin kebahagiaan dan untuk mendistribusikan kebahagiaan itu kepada sebanyak mungkin orang.Masalah pengukuran lainnya adalah tentang ruang lingkup.Hak minoritas dapat dilanggar di bawah utilitarianisme, dan mengabaikan motivasi serta berfokus hanya pada konsekuensi.

3.      Etika Deontologi
Deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang artinya tugas atau kewajiban.Deontologi mengevaluasi etikalitas perilaku berdasarkan motivasi pembuat keputusan, dan menurut deontology tindakan dapat dibenarkan secara etika meskipun tidak menghasilkan keuntungan bersih atas kebaikan terhadap kejahatan bagi para pengambil keputusan atau bagi masyarakat secara keseluruhan. Immanuel Kant (1724-1804) memberikan artikulasi dalam teori ini melalui risalahnya groundwork of the Metaphycis of Moral.Kant mengembangkan dua hukum untuk menilai etikalitas, yaitu Imperatif Kategoris Idan Imperatif Praktis.
·          Kelemahan dalam Deontologi
Masalah mendasar adalah bahwa impreratif kategoris tidak memberikan panduan yang jelas untuk menentukan mana yang benar dan yang mana yang salah jika dua atau lebih hokum moral mengalami konflik dan hanya satu yang dapat diikuti.Imperatif kategoris menetapkan standar yang sangat tinggi.Bagi banyak orang, itu adalah etika yang sulit untuk diikuti.

4.      Keadilan dan Kewajaran
            Filsuf Inggris, David Hume (1711-1776) berpendapat bahwa kebutuhan akan keadilan terjadi karena dua alasan: orang tidak selalu bermanfaat dan terdapat sumber daya yang langka.Ada dua aspek keadilan, yaitu keadilan prosedural (proses untuk menentukan alokasi) dan keadilan distributif (alokasi yang sebenarnya).
1)      Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural berfokus pada bagaimana keadilan diberikan. Aspek utama dari sistem hukum yang adil adalah bahwa prosedurnya adil dan transparan. Hal ini berarti bahwa setiap orang diperlakukan sama didepan hokum dan bahwa aturan-aturan yang memihak diterapkan secara sama. Keadilan harus dinilai berdasarkan fakta-fakta kasus. Hal ini berarti bahwa informasi yang digunakan untuk menilai berbagai klaim harus relevan, dapat dipercaya, dan diperoleh secara sah.
2)      Keadilan Distributif
Aristoteles (384-322M) menjadi orang pertama yang berpendapat bahwa suatu hal yang setara harus diperlakukan sama, dan suatu hal yang tidak setara harus diperlakukan berbeda sesuai dengan proporsi perbedaan relevan. Dalam keadilan distribusi, terdapat tiga kriteria utama untuk menentukan distribusi yang adil: kebutuhan, kesetaraan aritmatika, dan prestasi. Keadilan distributif berbasis kebutuhan tidaklah umum dalam lingkungan bisnis. Namun demikian, hal itu akan menjadi logis untuk proses anggaran sebuah perusahaan, dimana harus didasarkan pada alokasi wajar sumber daya langka agar tidak ada resiko penghambat motivasi dari para eksekutif dan karyawan pada disenfranchaised unit. Metode distribusi lain adalah berdasarkan kesetaraan aritmatika. Dalam lingkungan bisnis, prinsip kesetaraan aritmatika dapat dianggap dilanggar ketika sebuah perusahaan memiliki dua kelas saham yang mempunyai hak sama dengan dividen, tetapi hak suara yang tidak sama, sehingga terjadi ketidaksetaraan hak untuk mengendalikan hak aliran kas dua kelas saham tersebut. Metode lain distribusi adalah berdasarkan prestasi. Hal ini berarti bahwa apabila salah satu individu berkontribusi lebih banyak terhadap proyek, maka individu tersebut harus menerima sebagian besar manfaat dari proyek tersebut.
·         Keadilan sebagai kewajaran
Salah satu masalah dalam mendistribusikan keadilan adalah bahwa alokasi mungkin bisa tidak merata.Filsuf amerika John Rawls (1921-2002) mencoba mengatasi permasalahan ini dengan mengembangkan teori keadilan sebagai kesetaraan. Dalam theory of justice, ia menyajikan sebuah argument didasarkan pada posisi klasik kepentingan pribadi dan kemandirian. Tak seorang pun bisa mendapatkan semua hal yang mereka inginkan karena ada orang lain yang akan mencegah hal ini terjadi, karena mereka juga mungkin menginginkan yang sama. Oleh karena itu terdapat kebutuhan bagi semua orang untuk bekerja sama karena itu adalah kepentingan utama semua orang. Dengan demikian, masyarakat dapat dilihat sebagai pengaturan kerja sama untuk mencapai keuntungan bersama; hal ini merupakan usaha yang menyeimbangkan konflik kepentingan dengan identitas kepentingan. Keadilan sebagai kesetaraan berarti bahwa apapun yang mereka setujui pada keadaan awal akan dianggap adil oleh semua. Jika tidak, tidak aka nada kesepakatan mengenai syarat-syarat kontrak sosial.
5.      Etika kebijakan-meneliti kebijakan yang diharapkan
Etika kebijakan mengambil inspirasi dari filsuf yunani Aristoteles (384-322 SM). Dalam The Nichomacean Ethics, ia menjelajahi sifat hidup yang baik. Ia berfikir bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan.Hal ini bukan kebahagiaan dalam arti hedonistic.Sebaliknya kebahagiaan bagi aristoteles adalah kegiatan jiwa. Aristoteles juga merasa bahwa ada kebutuhan untuk pendidikan etika sehingga orang akan tahu tindakan apa yang berbudi luhur. Etika moralitas berfokus pada karakter moral dari pembuat keputusan daripada konsekuensi tindakan (utilitarianisme)atau motivasi dari pembuat keputusan (deontology).Hal ini mengakui bahwa ada banyak aspek dari kepribadian manusia.Dengan berfokus pada pribadi utuh, yang memiliki kombinasi unik dari kebajikan, teori ini menghindari dikotomi palsu.
·         Kelemahan etika kebijakan
Ada dua masalah yang berkaitan dengan etika kebijakan.Apa saja kebijakan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis, dan bagaimana kebijakan ditunjukkan dalam tempat kerja.Sebuah kunci kebajikan dalam bisnis adalah integritas.Integritas melibatkan bersikap jujur dan terhormat.


II.               Pengambilan Keputusan Beretika
Memotivasi  Perkembangan
Skandal Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom menimbulkan kemarahan publik, runtuhnya pasara modal, dan akhirnya Sarbanes – Oxley Act 2002, merupakan salah satu skandal yang membawa reformasi tata kelola berkembang dan tersebar luas. Hal ini, menimbulkan pengadilan opini publik yang juga bersikeras terhadap perusahaan dan individu yang berperilaku tidak etis. Kehilangan reputasi karena tindakan yang tidak etis dan ilegal telah terbukti dapat mengurangi pendapatan dan keuntungan, merusak harga saham, dan menjadi akhir karir bagi para eksekutif, bahkan sebelum tindakan tersebut sepenuhnya diselidiki dan tanggung jawab mereka dibuktikan sepenuhnya.



Kerangka kerja Pengambilan Keputusan Etis
Kerangka ini menyertakan persyaratan tradisional untuk profitabilitas dan legalitas, serta persyaratan yang akan ditampilkan filosofis secara penting dan dituntut oleh pemangku kepentingan. Hal ini dirancang untuk meningkatkan pertimbangan etis dengan menyediakan :
Ø  Pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menganalisis isu – isu penting yang harus dipertimbangkan dan pertanyaan atau tantangan yang harus diungkap.
Ø  Pendekatan yang menggabungkan menerapkan faktor keputusan yang relevan ke dalam tindakan praktis.
Sebuah keputusan atau tindakan dianggap etis atau “benar” jika sesuai dengan standar tertentu.Para filsuf mengemukakan, bahwa untuk memastikan keputusan etis tidak cukup jika hanya berdasarkan pada satu standar saja.Berikut adalah dasar pertimbangan kerangka kerja pengambilan keputusan etis (EDM) menilai etikalitas keputusan atau tindakan yang dibuat :
1.      Konsekuensi atau kekayaan yang dibuat dalam hal keuntungan bersih atau biaya;
2.      Hak dan kewajiban yang terkena dampak;
3.      Kesetaraan yang dilibatkan;
4.      Motivasi atau kebijakan yang diharapkan (harapan untuk karakter, kebajikan)
Teori / pendekatan filosofis yang digunakan:
1.      Kensekuensialisme, utilitarianisme, teologi
2.      Deontologi (hak dan kewajiban)
3.      Imperatif kategoris Kant, keadilan yang tidak memihak
4.      Kebajikan
Pada teori pertama sampai ketiga, ditelaah dengan memfokuskan pada dampak dari keputusan terhadap pemegang saham dan pemangku kepentingan.Pada teori keempat, motivasi pembuat keputusan, merupakan pendekatan yang dikenal sebagai etika kebajikan. Dalam etika kebajikan diberikan wawasan yang memungkinkan akan membantu ketika mengkaji masalah – masalah tata kelola saat ini dan masa depan, sebagai bagian dari latihan manahemen risiko yang seharusnya.



Pendekatan Filosofis – Sebuah Ikhtisar: Konsekuensialisme (Utilitarianisme, Deontologi, dan Etika Kebajikan
Skandal Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mendorong untuk meningkatkan pendidikan etika dan EDM, sehingga diperlukan untuk mengenali tiga pendekatan filosofis untuk pengambilan keputusan etis: konsekuensialisme (utilitarianisme), deontologi, dam etika kebajikan.
·         Konsekuensialisme, Utilitarianisme, atau Teologi

Pendekatan konsekuensialisme mengharuskan pelajar untuk menganalisis keputusan dalam hal kerugian dan manfaatnya bagi pemangku kepentingan dan untuk mencapai sebuah keputusan yang menghasilkan kebaikan dalam jumlah besar.

Konsekuensialisme bertujuan untuk memaksimalkan hasil akhir dari sebuah keputusan.Dalam konsekuensialisme, kebenaran dari suatu perbuatan bergantung pada konsekuensinya. Dengan kata lain, tindakan dan sebuah keputusan akan menjadi etis jika konsekuensi positif lebih besar daripada konsekuensi negatifnya. Hal ini didukung oleh pernyataan menurut AACSB,



·         Deontologi

Suatu pendekatan deontologis mengangkat isu – isu yang berkaitan dengan tugas, hak, serta pertimbangan keadilan dengan menggunakan standar moral, prinsip, dan aturan – aturan sebagai panduan untuk membuat keputusan etis yang terbaik.
Deontologi berfokus pada kewajiban atau tugas memotivasi keputusan atau tindakan, bukan pada konsekuensi dari tindakan.Dalam etika deontologi, kebenaran bergantung pada rasa hormat yang ditunjukkan dalam tugas, serta hak dan kewajiban yang dicerminkan oleh tugas – tugas tersebut. Akibatnya:



·         Etika Kebajikan

Etika kebajikan berfokus pada karakter atau integritas moral para pelaku dan melihat pada moral masyarakat, seperti masyarakat profesional, untuk membantu mengidentifikasi isu – isu etis dan panduan tindakan etis.
Dalam etika kebajikan, berkaitan dengan aspek yang memotivasi karakter moral yang ditunjukkan oleh para pengambil keputusan. Tanggung jawab dalam etika kebajikan  memiliki dua dimensi: actus reus (tindakan yang salah) dan mens rea (pikiran yang salah).Menurut AACSB,

Etika kebajikan berfokus pada karakter atau integritas moral para pelaku dan melihat pada moral masyarakat, seperti masyarakat profesional, untuk membantu mengidentifikasi isu – isu etis dan panduan tindakan etis.
 
Analisis Dampak Pemangku Kepentingan – Perangkat Komprehensif untuk Menilai Keputusan dan Tindakan
Sejak John Stuart Mill mengembangkan konsep utilitarianisme pada tahun 1861, suatu pendekatan yang diterima untuk penilaian keputusan dan tindakan yang dihasilkan telah dipakai untuk mengevaluasi hasil akhir atau konsekuensi dari tindakan.Dampak dari tindakan diukur dalam bentuk keuntungan atau kerugian yang timbul, karena laba telah menjadi ukuran tingkat kebaikan yang ingin dimaksimalkan oleh pemegang saham.
Pandangan tradisional mengenai akuntabilitas perusahaan telah dimodifikasi, yaitu:
1.      Asumsi bahwa semua pemegang saham hanya ingin memaksimalkan keuntungan jangka pendek tampaknya merupakan fokus yang terlalu sempit
2.      Hak – hak dan klaim dari mayoritas kelompok bukan pemegang saham, seperti karyawan, konsumen / klien, pemasok, kreditor, pemerhati lingkungan, masyarakat lokal, dan pemerintah yang memiliki kepentingan atau interes dalam hasil keputusan yang pada perusahaan itu sendiri, telah diselaraskan dengan status dalam pengambilan keputusan perusahaan.
·         Kepentingan Dasar Para Pemangku Kepentingan
Keberagaman dari pemangku kepentingan dan kelompok pemangku kepentingan membuat tugas dalam pengambilan keputusan menjadi alebih kompleks. Untuk mempermudah proses, maka diperlukan dengan mengidentifikasi dan mempertimbangkan serangkaian kepentingan para pemangku kepentingan pada umumnya agar dapat digunakan untuk memfokuskan analisis dan pengmabilan keputusan pada dimensi etika, sperti berikut:
1.      Kepentingan mereka harus menjadi lebih baik sebagai akibat dari keputusan yang diambil.
2.      Keputusan akan menghasilkan distribusi yang adil antara manfaat dan beban.
3.      Keputusan seharusnya tidak menyinggung salah satu hak setiap pemangku kepentingan, termasuk hak pengambilan keputusan, dan
4.      Perilaku yang dihasilkan harus menunjukkan tugas yang diterima sebaik – baiknya.
Nilai pertama berasal dari konsekuensialisme, nilai kedua, ketiga, dan keempat dari deontologi dan etika kebajikan.







Kepentingan Dasar Para Pemangku Kepentingan
Kesejahteraan
Keputusan yang diusulkan akan menghasilkan lebih banyak keuntungan daripada biaya.
Keadilan
Distibusi manfaat dan beban harus seimbang.
Hak
Keputusan yang diusulkan tidak boleh melanggar hak pemangku kepentingan dan pembuat keputusan.
Sifat kebajikan
Keputusan yang diusulkan harus menunjukkan seperti yang diharapkan dan pembuat keputusan
Keempat dasar kepentingan ini harus terpenuhi untuk memenuhi kriteria sebuah keputusan yang etis.
Tabel 4.1 Kepentingan Dasar Para Pemangku Kepentingan

·         Pengukuran Dampak yang Dapat Diukur
Berikut beberapa dasar dalam melakukan pengukuran dampak yang dapat diukur, yaitu:
1.      Laba. Laba merupakan dasar untuk kepentingan pemegang saham dan sangat penting untuk kelangsungan hidup adn kesehatan perusahaan. Dalam hal ini laba memiliki dua jenis kondisi, meliputi:
a)      Produk yang Tidak Termasuk dalam Laba : Dapat Langsung Diukur
b)      Produk yang Tidak Termasuk dalam Laba : Tidak Dapat Langsung Diukur
2.      Membawa Masa Depan ke Masa Kini.
3. Menangani Ketidakpastian Hasil. Dalam melakukan analisis dari adanya ketidakpastian hasil dapat didasarkan pada perkiraan terbaik, dalam tiga keungkinan (paling optimis, pesimis, dan perkiraan terbaik), atau dalam nilai-nilai yang diharapkan, dimana dikembangkan dari sebuah simulasi komputer.  
4.      Identifikasi dan Peringkat Pemangku Kepentingan. Dasar dari pendekatan untuk Mengukur Dampak yang Dapat Dihitung dari Keputusan yang Diajukan agar Optimal dihasilkan dari pendekatan yang paling menyeluruh:
a)      Hanya Laba atau Rugi
b)      Laba atau Rugi disertai eksternalitas (Analisis Biaya – Manfaat / ABM)
c)      Laba atau Rugi disertai eksternalitas ditambah probabilitas hasil (Analisis Risiko – Manfaat / RBA)
d)     ABM atau RBA ditambah peringkat pemangku kepentingan

Penilaian Dampak yang Tidak Dapat Dikuantifikasikan
1.      Keadilan di antara para pemangku kepentingan
Harapan mendapatkan perlakuan yang adil merupakan hak dari setiap individu dan kelompok, tetapi hal ini perlu diperlakukan secara terpisah mengingat pentingnya pengambilan keputusan etis.Salah satunya dalam pengambilan keputusan yang tidak diskriminatif, misalnya menyangkut masalah perekrutan, promosi, dan pembayaran.
2.      Hak pemangku  kepentingan
Sebuah keputusan hanya akan dianggap etis jika dampaknya tidak mengganggu hak para pemangku kepentingan dan hak dari pembuat keputusan. Sebagai contoh, karyawan dan konsumen dilindungi undang – undang kesehatan dan keselamatan, sedangkan martabat dan privasi dilindung hukum umum, dan efek jera menjadi subjek dari sanksi publik.Berikut Hak Pemangku Kepentingan: 1) Kehidupan; 2) Kesehatan dan keselamatan; 3) Perlakuan Adil; 4) Penggunaan hati nurani; 5) Harga diri dan privasi; dan 6) Kebebasan berbicara.

Analisis Dampak Pemangku Kepentingan: Pendekatan Tradisional Pengambil Keputusan
Memilih pendekatan yang paling berguna bergantung apakah dampak keputusan bersifat jangka pendek jika dibandingkan dengan jangka panjang, melibatkan eksternalitas dan/atau probabilitas, atau terjadi dalam situasi perusahaan.
1.      Pendekatan 5 pertanyaan tradisional
Pendekatan 5 pertanyaan atau pendekatan 5 kotak sebagaimana disebutkan dalam Graham Tucker, melibatkan pemeriksaan atau tantangan dari keputusan yang disusulkan melalui lima pertanyaan. Keputusan yag diusulan ditantang dengan mengajukan semua pertanyaan.
2.      Pendekatan standar moral tradisional
Pendekatan standar moral untuk analisis dampak pemangku kepentingan membangun secara langsung atas tiga kepentingan mendasar dari para pemangku kepentingan. Hal ini agak lebih umum daripada focus dari pendekatan 5 pertanyaan, dan mengarahkan pengambil keputusan untuk membuat analisis yang berbasis lebih luas pada manfaat bersih bukan hanya profitabilitas, sebagai tantangan pertama keputusan yang diusulkan. Akibatnya, pendekatan ini menawarkan kerangka kerja yang lebih sesuai dengan pertimbangan keputusan yang memiliki dampak yang signifikan di luar perusahaan dari kerangka 5 pertanyan.

Kekeliruan Umum dalam Pengambilan Keputusan Etis
Menghindari perangkap umum pengambilan keputusan etis sangatlah penting. Pengalaman menunjukkan bahwa para pengambil keputusan secara berulang-ulang membuat kesalahn berikut:
1.      Menyetujui budaya perusahaan yang tidak etis
2.      Salah menafsirkan harapan masyarakat
3.      Berfokus pada keuntungan jangka pendek dan dampak pada pemegang saham.
4.      Berfokus hanya pada legalitas.
5.      Batas keberimbangan.
6.      Batas untuk meneliti hak.
7.      Konflik kepentingan.
8.      Keterkaitan di antara pemangku kepentingan.
9.      Kegagalan untuk mengidentifikasi semua kelompok pemangku kepentingan.
10.  Kegagalan untuk membuat peringkat kepentingan tertentu dari para pemangku kepentingan.
11.  Mengacuhkan kekayaan, keadilan, atau hak.
12.  Kegagalan untuk mempertimbangkan motivasi untuk keputusan.
13.  Kegagalan untuk mempertimbangkan kebajikan yang diharapkan untuk ditunjukkan.

KASUS FORD PINTO
Pada bulan Mei tahun 1968, perusahaan Ford memperkenalkan mobil produksi terbarunya yakni Ford Pinto. Mobil ini diciptakan untuk menghadapi persingan kuat dari pesaingnya yaitu Volkswagen. Demi mendapatkan pangsa pasar yang besar, mobil tersebut dirancang dan dikembangkan secara cepat di dalam negeri. Yang dimaksud secara cepat di sini adalah bahwa proses desain, pengujian dan produksi yang biasanya membutuhkan waktu lebih lama sekitar tiga setengah tahun tapi pada kenyataanya Ford Pinto hanya membutuhkan waktu lebih singkat yaitu sekitar dua tahun. Produk mobil Ford Pinto dikatakan sebagai sebuah proyek yang terburu-buru, karena dimulai pada tahun 1968 dan produksinya tahun 1970. Dari hasil tersebut setelah beberapa tahun saat Ford Pinto menguasai pangsa pasar dan laris dibeli oleh berbagai kalangan masyarakat, pada tanggal 10 Agustus 1978 terjadi kejadian sebuah Ford Pinto ditabrak dari belakang di jalan raya Indiana. Hantaman tabrakan itu menyebabkan tangki bahan bakar mobil pecah, meledak dan terbakar. Hal ini mengakibatkan kematian tiga remaja putri yang berada di dalam mobil itu. Kejadian ini bukan pertama kalinya Ford Pinto terbakar akibat tabrakan dari belakang. Dalam tujuh tahun sejak peluncuran Pinto, sudah ada 50 tuntutan hukum yang berhubungan dengan tabrakan dari belakang.
 Ford Pinto cenderung mengalami kebakaran hal ini disebabkan karena desainer Ford Pinto menempatkan tangki bahan bakar di bagian belakang mobil, tepatnya adalah pada bagian belakang poros dengan tujuan untuk menciptakan ruang bagasi yang lebih besar, akan tetapi desain ini sangat berbahaya jika mobil ditabrak dari belakang bisa menyebabkan ledakan yang disebabkan oleh tangki bahan bakar tersebut.
Kontroversi itu membuat Pinto lebih rentan terhadap tabrakan belakang. Kerentanan ini ditingkatkan dengan fitur lain dari mobil. Tangki gas dan poros belakang dipisahkan dengan hanya sembilan inci. Ada juga baut yang diposisikan dengan cara yang mengancam tangki bensin. Akhirnya, desain pipa pengisi bahan bakar menghasilkan probabilitas yang lebih tinggi yang akan memutuskan sambungan dari tangki dalam hal terjadi kecelakaan bias terjadi, menyebabkan tumpahan gas yang dapat menyebabkan kebakaran yang berbahaya. Karena banyaknya kelemahan dalam desain ini, Ford Pinto menjadi pusat perdebatan publik.


KESIMPULAN KASUS FORD PINTO
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukkan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Jika perusahaan Ford memperhatikan keselamatan pengendara dalam produksi Ford Pinto, perusahaan Ford tidak akan mengeluarkan biaya tambahan untuk memberikan ganti rugi pada korban kecelakaan.
Dalam pengerjaan teknis perancangan dan pembuatan sebuah mobil Ford Pinto, terjadi juga pelanggaran kode etik seorang desainer/engineer yaitu membuat keputusan yang membahayakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan publik, serta tidak mengungkap faktor-faktor yang membahayakan publik dan lingkungan.
Etika bisnis berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan pelaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa, serta diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Sebagai seorang wirausaha hendaknya menerapkan etika saat berusaha. Dalam bidang otomotif ada etika engineering dan etika bisnis yang mengikat dan harus ditaati. Kejayaan suatu perusahaan besar dituntut dari hal-hal seperti kepercayaan, nama baik perusahaan, produk yang berkualitas, dan tentunya ketahanan terhadap persaingan dengan kompetitor. Dalam kasus Ford Pinto, keputusan bisnis yang dibuat untuk memenangkan persaingan dengan kompetitor telah mengabaikan kepercayaan, nama baik perusahaan, kualitas produk dengan mengabaikan etika-etika dasar yang harusnya ditaati.
Kasus Ford Pinto tidak akan terjadi jika kebijakan bisnis untuk mendapatkan laba yang lebih besar dengan mengorbankan keamanan tidak diambil oleh Ford. Kepercayaan konsumen terhadap sebuah produk bisnis sangatlah penting, karena menjadi poin dasar dalam penentuan pemasaran produk dan keberlangsungan sebuah perusahaan.

Komentar

Postingan Populer